Studi Komparatif
Aliran Filsafat Pendidikan Barat
Dalam Perspektif Pendidikan di Indonesia
Oleh : Antonius Gultom, S.Pd.,MM
ABSTRAK
Antonius Gultom dan Teguh
Parluhutan, Studi Komparatif Aliran Filsafat Pendidikan Barat dalam Perspektif Pendidikan di Indonesia.
Pengaruh perkembangan zaman didalam dunia pendidikan dibawa oleh aliran filsafat pendidikan Barat. Pendidikan di Indonesia berusaha untuk mendapatkan tujuan pendidikan yang mampu memfilter perkembangan
pendidikan dari dunia Barat dan memanfaatkannya serta tidak kehilangan
dasar pendidikan di Indonesia. Pancasila sebagai Landasan Filsafat Sistem
Pendidikan Nasional Bangsa
Indonesia memiliki filsafat umum atau filsafat Negara ialah pancasila sebagai
falsafah Negara, Pancasila patut menjadi jiwa bangsa Indonesia, menjadi
semangat dalam berkarya pada segala
bidang. Pasal 2 UU-RI No. 2 Tahun 1989 menetapkan bahwa pendidikan Nasional
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Tujuan penulisan
ini adalah 1). Untuk mengetahui Aliran-aliran filsafat pendidikan Barat dan untuk mengetahui aliran filsafat pendidikan di Indonesia; 2). Untuk mengetahui perbandingan antara
aliran filsafat pendidikan Barat dan aliran filsafat pendidikan di Indonesia.
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka atau library research. Penelitian kepustakaan adalah penelitian yang
dilaksanakan dengan menggunakan literatur (kepustakaan), baik berupa buku, catatan
atau laporan-laporan hasil penelitian dari peneliti terdahulu. Metode penelitian
kualitatif disebut juga sebagai metode interpretative
karena data hasil penelitian lebih berkenaan dengan interpretasi terhadap data yang ditemukan di lapangan. Perbandingan hasil penelitian dengan telaah pustaka
yang ada, dan menarik kesimpulan.
Hasil penelitian pembahasan ini meliputi tentang
perbandingan antara aliran filsafat pendidikan Barat dengan aliran
filsafat pendidikan di Indonesia yang kemudian berangkat dari perspektif pendidikan di Indonesia, Hasil analisis tersebut adalah betapa pentingnya memajukan masyarakat Indonesia dalam pendidikan yang bernuansa Negara Kesatuan Republik Indonesia pada era
globalisasi yang semakin merajalela seperti
dizaman modern ini yang kaya akan perkembangan teknologi yang berkembang pesat
dan cepat. Atas dasar problematika tersebut, maka pemikiran dari
aliran-aliran filsafat pendidikan Barat dan aliran-aliran filsafat pendidikan di Indonesia perlu dikembangkan untuk menuju tujuan pendidikan Indonesia yang seutuhnya, yang telah dipengaruhi oleh pendidikan Barat adalah aliran filsafat
pendidikan Indonesia yaitu: Rekonstruksi Sosial.
Kata kunci: Aliran
filsafat pendidikan Barat dan Aliran filsafat pendidikan di
Indonesia.
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................................................. i
KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
A.
Latar Belakang Masalah ................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah ............................................................................. 5
C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan ..................................................... 5
D. Manfaat Penulisan ............................................................................. 5
E.
Ruang Lingkup Penulisan .................................................................. 6
F.
Telaah Pustaka .................................................................................. 6
BAB II KAJIAN TEORI...................................................................................... 8
A.
Filsafat .............................................................................................. 8
B.
Pendidikan ........................................................................................ 9
C. Filsafat Pendidikan ......................................................................... 10
D.
Pengertian dan Ruang Lingkup Pendidikan Indonesia ................... 11
1. Pengertian Pendidikan Indonesia ............................................ 11
2. Ruang Lingkup Pendidikan Indonesia ...................................... 14
E.
Hakekad Pendidikan Indonesia ....................................................... 14
F.
Dasar-Dasar Pendidikan Indonesia ................................................ 15
G. Konsep Pendidikan
Indonesia ......................................................... 20
H. Aliran Filsafat
Pendidikan Barat .................................................... 20
I.
Aliran Filsafat Pendidikan Indonesia ............................................. 21
J.
Ciri-Ciri Filsafat Pendidikan Indonesia ......................................... 30
BAB III METODE RISET ................................................................................ 32
A.
Jenis Riset ........................................................................................ 32
B.
Sumber-Sumber Data ...................................................................... 32
C. Metode Pengumpulan Data ............................................................. 33
D. Metode Analisis Data ...................................................................... 33
BAB IV PEMBAHASAN .................................................................................. 34
A.
Kajian dari aliran-aliran filsafat
pendidikan barat bila
dibandingkan
dengan aliran-aliran filsafat pendidikan
Indonesia ......................................................................................... 34
B.
Persamaan dan perbedaan aliran
filsafat pendidikan Barat
dengan aliran filsafat pendidikan Indonesia ................................... 42
BAB V PENUTUP ............................................................................................. 46
A.
Kesimpulan ...................................................................................... 46
B.
Saran ................................................................................................ 47
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 48
KATA PENGANTAR
Puji
syukur Kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala rahmat, karunia terutama
kesempatan yang diberikan-Nya, sehingga saya sebagai penyusun “Mini Riset (MR)” ini dapat menyelesaikannya dengan
baik. Tanpa adanya kesempatan, mustahil penyusun
dapat menyelesaikan “Mini
Riset (MR)” ini secara tuntas. Mini Riset (MR)” merupakan Tugas
Mandiri yang merupakan
keharusan dalam mengikuti dan menyelesaikan mata kuliah “Filsafat Manajemen Pendidikan”.
Selama proses penulisan “Mini Riset (MR)” ini, saya penyusun memperoleh banyak bantuan dari
berbagai pihak, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Untuk itu
dari hati yang paling dalam saya penyusun
menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
penulisan ini terutama kepada bapak Dr.
Irsan Rangkuti, M.Pd.,M.Si, dan Dr. Yasaratodo Wau, M.Pd, sebagai Dosen yang
mengampu mata kuliah ini.
Segala kritikan dan masukan dari semua pihak, akan menjadi pengalaman yang sangat berharga bagi saya penyusun demi kesempurnaan “Mini Riset (MR)” ini.
Medan. 24 Mei 2018
Antonius Gultom
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pendidikan berkenaan dengan fungsi
luas dari pemeliharaan dan perbaikan kehidupan suatu masyarakat, terutama membawa
masyarakat yang masih baru bagi penuaian kewajiban dan tanggung jawab
didalam masyarakat. Oleh karena itu pendidikan merupakan
proses yang lebih luas dari pada sekedar berlangsung disekolah saja.
Pendidikan merupakan aktivitas sosial yang esensial dan krusial bagi
masyarakat yang semakin kompleks. Dengan kata lain, pendidikan tidak hanya
dilaksanakan oleh para siswa dan mahasiswa berseragam dan beralmamater, juga
bukan hanya kegiatan yang dilaksanakan para Guru dan Dosen. Tetapi
lebih dari itu, pendidikan mencangkup segala aktvitas hidup dan
kehidupan manusia dimana saja dan kapan saja.
Pendidikan di Indonesia adalah pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan
keterampilannya. Karena itu, pendidikan di Indonesia menyiapkan manusia untuk hidup baik
dalam keadaan damai maupun perang, dan menyiapkannya untuk
menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan
pahitnya (Yusuf al-Qardhawi, 2010:157).
Sejalan dengan itu, pendidikan pada hakikatnya adalah suatu
proses manusia atau peserta didik secara sadar, manusiawi yang terus-menerus
agar dapat hidup dan berkembang sebagai manusia yang
sadar akan kemanusiannya. Demikian pula kesadaran serta kemampuan melaksanakan tugas dan
fungsi kehidupan yang diembannya dengan penuh tanggung jawab. Pendidikan memegang kedudukan sentral dalam proses
pembangunan dan kemajuan dalam menghadapi tantangan masa depan.
Perubahan yang sangat mendalam dan pesat mengharuskan manusia belajar
hidup dengan perubahan terus-menerus dengan ketidakpastian dan
dengan unpredictability (ketidakmampuan untuk memperhitungkan apa yang akan
terjadi). Persoalan yang dihadapi oleh manusia dan kemanusiaan tersebut
tak luput juga melibatkan persoalan pendidikan di dalamnya, yaitu
sejauh mana pendidikan mampu mengantisipasi dan mengatasi persoalan itu.
Persoalan-persoalan yang dihadapi
dunia pendidikan tersebut digambarkan oleh John Vaizey dengan menyatakan bahwa setiap orang yang pernah menghadiri konfrensi internasional di
tahun-tahun terakhir ini pasti merasa terkejut akan banyaknya persoalan pendidikan
yang memenuhi agenda.
Makin lama makin jelas bahwa
organisasi-organisasi internasional itu mencerminkan apa yang terjadi di
semua negara di dunia. Hampir tidak ada satu negara pun dewasa ini, di mana
pendidikan tidak merupakan topik utama yang diperdebatkan (Muis Sad Iman, 2004:2-3).
Bangsa Indonesia dewasa ini
dihadapkan pada ragam persoalan internal dan eksternal yang ditimbulkan oleh
berbagai macam perubahan termasuk bidang pendidikan, padahal menurut Hasan Langgulung
pendidikan tidak hanya sekedar pemindahan (transmission) nilai-nilai kebudayaan dari suatu generasi kegenerasi berikutnya, akan tetapi juga
ada proses transformasi sebagai penuntun umat manusia dalam menjalani
kehidupan dan sekaligus untuk memperbaiki nasib dan peradaban
umat manusia (Hasan Langgulung, 2008:61).
Tanpa pendidikan, maka diyakini
manusia sekarang tidak berbeda dengan generasi manusia masa lampau (Hujair Syaukani, 2007:211). Pendidikan adalah pemberi corak
hitam putihnya perjalanan hidup seseorang. Kedudukan ini
secara tidak langsung telah menempatkan pendidikan sebagai kebutuhan yang
tidak dapat dipisahkan dengan hidup dan kehidupan umat manusia.
Dalam hal ini John Dewey berpendapat bahwa pendidikan sebagai salah satu
kebutuhan hidup (a
necessity of life), salah satu fungsi sosial (a social function), sebagai pembimbing (as direction) dan sebagai sarana
pertumbuhan (as meansgrowth) yang mempersiapkan dan membukakan serta membentuk disiplin melalui transmisi yang baik
dalam bentuk formal, informal dan non formal (Zuhairini, 2011:1).
Masalah yang berkaitan dengan
pendidikan memang mencakup permasalahan yang sangat luas, seluas masalah hidup
dan peri kehidupan umat manusia dan telah menjadi objek studi berbagai
macam cabang ilmu pengetahuan kemanusiaan (Tadjab, 2014:10).
Manusia dibekali dengan akal, kalbu
dan anggota tubuh yang lain untuk meraih ilmu pengetahuan. Manusia
dilarang mengikuti sesuatu tanpa ada pengetahuan tentangnya.
Lebih jauh Lodge mengatakan bahwa pendidikan proses hidup dan kehidupan umat manusia itu berjalan serempak dan tak
dapat terpisahkan satu sama yang lain (life is
education and education is life). Pemikiran dan kajian tentang pendidikan tersebut
dilakukan oleh para ahli dalam berbagai sudut ditinjau dari disiplin ilmu
seperti ilmu agama, filsafat, sosiologi, ekonomi, politik, sejarah dan
antropologi. Dari sudut itulah yang menyebabkan lahirnya cabang ilmu pengetahuan
kependidikan yang berpangkal dari sudut tinjauannya yaitu pendidikan
agama, filsafat pendidikan, sosiologi pendidikan, sejarah pendidikan,
ekonomi pendidikan dan politik pendidikan.
Pada kenyataannya pendidikan
merupakan bagian tidak terpisahkan di kehidupan manusia di dunia yang
sudah menjadi salah satu tradisi umat manusia, sehingga tidak begitu
mengherankan jika dari dulu sampai sekarang pendidikan menjadi tinjauan yang
serius dengan manusia dan sangat diperhatikan. Pendidikan merupakan salah satu
bentuk usaha manusia dalam rangka mempertahankan kelangsungan eksistensi
kehidupan budaya untuk menyiapkan generasi penerus agar dapat bersosialisasi
dan beradaptasi dalam budaya yang ada (Imron Rossidy dan Bustanul Amari, 2007:79).
Upaya untuk memperbaiki kondisi
kependidikan itu tampaknya perlu dilacak pada akar permasalahannya yang bertumpu pada pemikiran
filosofis. Diketahui bahwa secara umum filsafat berupaya
menjelaskan inti atau hakekat dari segala sesuatu yang ada dan karenanya ia
menjadi induk segala ilmu.
Dapat diutarakan dengan jelas bahwa
sistem filsafat menurut Plato dan tokoh-tokoh yang lain dapat dijadikan sebagai
dasar terbentuknya suatu filsafat pendidikan. Disisi lain, cabang-cabang sistem
filsafat mendasari berbagai pemikiran mengenai pendidikan. Pendidikan
dalam konteks upaya merekonstruksi suatu peradaban merupakan salah satu
kebutuhan asasi yang dibutuhkan oleh setiap manusia dan kewajiban yang
harus diemban oleh Negara agar dapat membentuk masyarakat yang memiliki
pemahaman dan kemampuan untuk menjalankan fungsi-fungsi kehidupan
selaras serta mampu mengembangkan kehidupannya menjadi lebih baik dari setiap masa ke masa berikutnya.
Sejarah filsafat sangat kaya dengan
ide-ide mengenai pendidikan. Ide-ide yang tercetus pada masa lampau dan hanya
berlaku pada masa lampau juga. Tetapi ada kalanya ide-ide atau gagasan-gagasan
itu masih bisa dipergunakan sebagai pegangan di masa sekarang. Sudah
tentu ada gagasan yang tercetus di masa sekarang dan menjadi pegangan
pada waktu yang ini pula. Contoh yang bisa diambil misalnya metafisika. Karena
tinjauannya yang mendalam mengenai hal-hal dibalik dunia fisik,
memberikan dasar-dasar pemikiran cita-cita pendidikan. Epistimologi memberikan
landasan pemikiran mengenai kurikulum, aksiologi mengenai masalah
nilai dan kesusilaan, sedangkan logika memberikan landasan
pikiran mengenai pengembangan pendidikan kecerdasan (Imam Barnadib, 2006:5-6).
Karena itulah kedudukan filsafat sangat berhubungan dengan ilmu-ilmu yang lain. Jika dikatakan bahwa filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu yang ada dan sebagai suatu ilmu yang menyelidiki hakekat pengetahuan manusia maka seluruh ilmu lain harus mempunyai hubungan
struktural dan fungsional dalam filsafat. Apabila filsafat
diletakkan dalam tanggung jawab bagi pengembangan berpikir kritis dalam
membangun kepribadian kreatif agar mampu mempertanggungjawabkan disiplin ilmu
yang dikuasai dalam masyarakat, maka arti dan sistem filsafat merupakan
sesuatu yang perlu ditelaah dan dimengerti (Abdul Munir Mulkhan, 2003:22).
Filsafat dapat juga dijadikan
sebagai pandangan hidup. Jika filsafat itu dijadikan sebagai pandangan hidup
oleh suatu masyarakat atau bangsa maka mereka akan berusaha untuk
mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan yang nyata. Dari sinilah
filsafat sebagai pandangan hidup difungsikan sebagai tolak ukur bagi nilai-nilai
tentang kebenaran yang harus dicapai. Peranan filsafat yang mendasari berbagai aspek
pendidikan ini sudah tentu merupakan sumbangan utama bagi pembinaan pendidikan.
Teori-teori yang tersusun karenanya dapat disebut sebagai
pendidikan yang berlandaskan pada filsafat.
Memasuki abad XXI di millennium
ketiga ini yang digambarkan oleh banyak ahli dan pakar untuk jauh ke depan diprediksi
sebagai Era-Postmodernisme yang
inti pokok alur pemikirannya adalah menentang segala hal yang berbau kemutlakan dan baku, menolak dan
menghindari suatu sistematika uraian atau pemecahan masalah yang
sederhana dan sistematis, serta memanfaatkan nilai-nilai yang berasal dari
berbagai aneka ragam sumber (Amin Abdullah, 2005:96-97).
Terlepas dari suka atau tidak, kita
semua akan memasuki era dan rancah arus pemikiran spektakuler yang telah merasuk
ke dalam sendi-sendi kehidupan manusia di bidang sosial, ekonomi, budaya,
politik, dan lain-lain sebagai dampak dan pengaruh globalisasi. Sebagaimana
halnya dengan globalisasi tersebut, arus pemikiran postmodernisme juga sekaligus membawa sisi-sisi positif dan negatifnya. Masalahnya sekarang
adalah apakah bangsa Indonesia akan terciprat dan tenggelam dalam
arus negatifnya, menjadi korban, ataukah sebaliknya akan menjadi pengendali dan
pengambil manfaat yang sebesar-besarnya. Dalam hal ini, tugas
dan peranan pendidikan adalah amat sulit dan kompleks. Walaupun demikian,
langkah-langkah tersebut harus ditunaikan dengan secara maksimal. Pada
satu sisi, pendidikan harus mampu mempersiapkan sumber daya manusia seperti
yang dikriteriakan di atas, yakni memiliki kualifikasi,
berwawasan luas dan profesional di bidangnya masing-masing. Namun pada
sisi yang lain, pendidikan juga harus mampu membenahi diri secara
internal (ke dalam). Misalnya institusi kelembagaan, manajemen modern,
kompetensi dan sebagainya.
Hal tersebut di atas, merupakan
harapan-harapan yang ingin dicapai dengan pendidikan menghadapi civil society sebagai sebuah gambaran masyarakat yang memiliki tingkat peradaban dan
kemajuan yang amat maju disegala bidang. Pada saat yang demikian itu pula,
maka pendidikan di Indonesia berada pada posisi terdepan dan amat
strategis, yakni memberikan sumbangsih pendidikan yang bermuatan dan bernuansa
etik, moral, mental-spritualitas keagamaan bagi bangsa kita. Manusia mengalami
faktor perkembangan dalam hal tantangan, problematika, sudut
pandang, zaman dan keadaan alam yang berbeda-beda.
Demikian juga jawaban manusia atas
pertanyaan tentang hakekat kenyataan atau dunia berbeda-beda pula. Sehubungan
dengan itu, terjadinya aliran filsafat pun bisa disebabkan oleh satu, dua
atau beberapa hal.
Diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Perbedaan antara filosof satu dengan
filosof yang lain tentang pengalaman, kejadian, renungan, keyakinan,
kepercayaan, pengertian dan persepsi tentang alam, benda, dan Tuhan.
2) Perbedaan antara filosof satu dengan
filosof yang lain tentang pengalaman, pendidikan, lingkungan zaman dan
pandangan hidup.
3) Perbedaan antara filosof satu dengan
filosof yang lain tentang aspirasi, minat dan kegiatan manusia.
4) Perbedaan antara filosof satu dengan
filosof yang lain tentang faktor alam dan problematika yang dihadapai.
5)
Perbedaan antara filosof satu dengan
filosof yang lain tentang perkembangan sejarah atau zaman.
6)
Perbedaan antara filosof satu dengan
filosof yang lain tentang lingkungan (pengaruh alam sekitar).
7) Perkembangan teknologi dan ilmu pun
membawa pengaruh terhadap perubahan, perkembangan masyarakat dan kebudayaannya
termasuk dalam hal pendidikan. Hal itulah yang bisa menyebabkan
timbulnya aliran filsafat. Khususnya aliran filsafat pendidikan yang
membawa isu-isu pendidikan sesuai dengan tuntutan kebudayaan
masyarakat modern yang sedang berubah (Oong Komar, 2006:126-127).
Pembahasan tentang aliran filsafat
pendidikan memberikan kontribusi yang berarti bagi dunia pendidikan. Sebagai seorang
yang berakal, tentu akan mengetahui bahwa pendidikan dan pengajaran itu
memiliki semangat dan jiwa sebagaimana makhluk bernyawa, ia memiliki roh dan
hati. Sesungguhnya semangat dan jiwa sistem pendidikan tiada
lain hanyalah bayangan gambar dari kepribadian penyusunnya. Itulah
yang memberikan kepada sistem pengajaran itu suatu kepribadian yang
khusus, semangat dan hati itu sendiri.
Berlainan dengan pendidikan yang
diinginkan di Indonesia, maka sistem pengajaran yang diinginkan oleh bangsa Barat
berbeda pula. Ia mengandung semangat dan hati tersendiri. Dimana
penyusun dan pemikiran tampak dengan jelas, bahwa buah pikiran yang
dihasilkan oleh bangsa-bangsa Barat serta keseluruhan dari hasil
pemikiran mereka. Bila bangsa Indonesia yang begitu memperhatikan berbagai
aspek dalam dunia pendidikan, menganut suatu sistem pengajaran
yang berlandaskan
Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI.
Berangkat dari kerangka berfikir di atas, penulis tertarik untuk mengkaji masalah Perbandingan Aliran Filsafat Pendidikan Barat dalam Perspektif Pendidikan Indonesia untuk dikaji dan dianalisis. Penulis juga berusaha untuk mengkomparasikan (membandingkan) Aliran Filsafat Pendidikan Barat dan Aliran Filsafat Pendidikan Indonesia. Oleh karena itu, penulis memilih judul "Studi Komparatif Alirans Filsafat Pendidikan Barat dan Aliran Filsafat Pendidikan Indonesia", dengan harapan karya tulis ini bisa memberikan sumbangan wawasan bagi kita semua.
B.
Rumusan Masalah
Sehubungan dengan topik bahasan yang dipilih oleh penulis, maka rumusan masalah yang diambil dalam pembahasan ini adalah:
1. Bagaimana inti kajian dari
aliran-aliran filsafat pendidikan Barat bila dibandingkan dengan aliran-aliran
filsafat pendidikan Indonesia?.
2. Apa persamaan dan perbedaan aliran
filsafat pendidikan Barat dengan aliran filsafat pendidikan Indonesia?
C.
Tujuan dan Kegunaan Penulisan
Sesuai dengan latar belakang, rumusan masalah
yang ada, maka tujuan penulisan ini yaitu :
1.
Untuk mengetahui macam-macam Aliran
filsafat pendidikan Barat dan untuk mengetahui macam-macam aliran filsafat
pendidikan Idonesia.
2.
Untuk mengetahui perbandingan antara
aliran filsafat pendidikan Barat dan aliran filsafat pendidikan Indonesia?
D.
Manfaat Penulisan
Pembahasan ini diharapkan mampu
memberikan manfaat kepada:
1. Penulis khususnya, menjadi sarana belajar dalam penyusunan suatu karya yang rasional dan mampu menambah wawasan ilmu pengetahuan sebagai bekal untuk
kehidupan dimasa yang akan datang.
2. Kampus Universitas Negeri Medan, Program Studi Manajemen Pendidikan S-3
merupakan pemenuhan tugas yang telah menjadi kewajiban bagi setiap mahasiswa.
3. Pendidik di lembaga-lembaga
pendidikan (khususnya Universitas Negeri Medan), semoga dapat memberikan manfaat
sebagai sarana untuk memperluas wacana dan cakrawala keilmuannya.
4. Pembaca, diharapkan tulisan ini dapat digunakan untuk menambah pengetahuan.
E.
Ruang Lingkup Penulisan
Untuk memudahkan pembahasan ini, maka penulis membatasi ruang lingkup pembahasan yang mana sasarannya lebih ditekankan pada pemikiran (Perbandingan Aliran Filsafat Pendidikan Barat dan Aliran Filsafat Pendidikan Indonesia).
F.
Telaah Pustaka
Berdasarkan topik bahasan penulis yaitu "Perbandingan
Aliran Filsafat Pendidikan Barat dan Aliran Filsafat
Pendidikan Indonesia" maka penulis lebih banyak mengacu khusus kepada buku-buku
filsafat pendidikan Indonesia dan filsafat pendidikan Barat, dan
filsafat umum, buku-buku yang bernuansa pemikiran ataupun dari rujukan yang penulis dapatkan.
Sebatas pengamatan penulis, penulis menemukan temuan terdahulu yang berhubungan dengan topik bahasan penulis yaitu studi komparatif
aliran filsafat pendidikan Barat dalam perspektif Indonesia, kemudian penulis mempunyai beberapa rujukan, diantaranya:
1. Dalam jurnal yang berjudul’’ Pemikiran Ismail Raji Al-Faruqi tentang Pendidikan Indonesia’’ yang disusun oleh Zaenal Arifin
menyimpulkan bahwa pemikiran Ismail Raji Al-Faruqi yang menghendaki
adanya reformulasi terhadap kurikulum pendidikan Indonesia yang tercermin dalam dua belas langkah proses menuju ilmu pengetahuan, setidaknya ada
tiga poin penting yang secara filosofis penting dikemukakan
dalam hubungannya dengan tawaran untuk memperbaiki kualitas
kurikulum pendidikan Indonesia. Pertama, keharusan menguasai khasanah ilmu klasik yang selama ini lebih dikenal dengan religious science. Kedua, keniscayaan untuk mencermati khasanah intelektual
Barat modern dengan cara menguasai dan menelaah secara
kritis melalui prespektif bangsa. Ketiga, berdasarkan komunitas yang ada sangat penting mengakomodasi kedua khasanah
itu untuk dilakukan sebuah sintesa kreatif, sehingga komunitas
tersebut menampilkan bentuk disiplin pengajaran yang utuh,
terpadu dan tidak dikotomis di bawah nilai-nilai pendidikan. Perbedaan
yang mendasar dengan penulis yaitu penulis lebih
mengutamakan perbandingan terhadap aliran filsafat pendidikan Barat dengan
filsafat pendidikan Indonesia serta mencari kelemahan dalam dalam
keduanya untuk dcarikan penyelesaiannya yaitu dengan tujuan terlaksananya
pendidikan Indonesia yang dalam era-globalisasi ini telah dikuasai oleh
pendidikan Barat. Dari bahsan diatas, penulis hanya
mengambil sebuah pemikiran yang menghendaki adanya reformulasi terhadap
kurikulum pendidikan Indonesia yang ada kaitannya dengan terlaksananya tujuan pendidikan Indonesia dewasa ini.
2. Mini riset yang disusun oleh Aa Dany Khan
berjudul “Filsafat Pendidikan menurut K.H. Ahmad Dahlan
(1868-1923) {Relevansinya Bagi Solusi Problem Pendidikan
Dewasa Ini}” yang diupload pada tanggal 05 Mei 2018 dalam blognya memaparkan tentang
relevansi pemikiran K.H. Ahmad Dahlan mengenai filsafat pendidikan saat ini sehingga bisa menjadi pijakan untuk menyelesaikan
berbagai permasalahan pendidikan yang telah terjadi. Penelitian
Dany tersebut belum mengupas tentang hal yang lebih khusus yaitu filsafat
pendidikan sebagaimana yang akan penulis. Aa Dany Khan baru menggali filsafat pendidikan dan
problematika pendidikan. Sementara perbedaan yang mendasar dengan penulis yaitu
penulis lebih mengutamakan perbandingan terhadap aliran filsafat
pendidikan Barat dengan filsafat pendidikan Indonesia serta mencari kelemahan dalam keduanya untuk dicarikan penyelesaiannya yaitu dengan tujuan
mengembangkan mutu pendidikan Indonesia yang dalam era-globalisasi ini
telah dikuasai oleh pendidikan Barat.
3.
Disertasi berjudul Konsep Pendidikan Dari Perspektif Psikologi Humanistik Abaraham Maslow
oleh Sulaeman Utama, tahun 2002 mengomparasikan antara konsep pendidikan dan konsep psikologi humanistik Abraham Maslow. Dengan kata lain,
penelitian ini berupaya melihat konsep pendidikan dari kaca mata
teori Abraham Maslow mengenai psikologi humanistik.
Tulisan ini berbeda dengan penelitian yang
dilakukan oleh Suleman. Perbedaan ini terletak pada pokok permasalahan yang
dibahas. Tulisan ini murni untuk mengupas tentang dimensi filosofis
antara aliran-aliran filsafat pendidikan Barat dan Aliran-aliran filsafat
pendidikan Indonesia, kemudian penulis melihat kelemahan dari kedua aliran
ini setelah dikomparatifkan dan penulis mendapati persamaan dan
perbedaaan yang nantinya akan mendukung tujuan pendidikan Indonesia melalui filsafat pendidikan yang telah terkontaminasi
dengan filsafat pendidikan Barat yang semakin berkembang pada era-modern ini.
BAB II
KAJIAN TEORI
A.
Filsafat
Kata filsafat berasal dari bahasa
Yunani kuno, philos artinya
cinta dan sophia artinya
kearifan atau kebijakan. Filsafat berarti cinta yang mendalam terhadap kearifan atau kebijakan. Dan dapat
pula diartikan sebagai sikap atau pandangan seseorang yang memikirkan
segala sesuatunya secara mendalam dan melihat dari segi yang
luas dan menyeluruh dengan segala hubungan. Menurut Harold
Titus, dalam arti sempit filasafat diartikan sebagai sains yang
berkaitan dengan metodologi, dan dalam arti luas filsafat mencoba mengintegrasikan
pengetahuan manusia yang berbeda-beda dan menjadikan suatu
pandangan yang komprehensif tentang alam semesta, hidup, dan makna
hidup. Jadi, filsafat memiliki karakteristik spekulatif, radikal, sistematis, komprehensif, dan universal.
Butler mengemukakan beberapa
persoalan yang dibahas dalam filsafat, yaitu:
1) Metafisika adalah
cabang filsafat yang mempersoalkan tentang hakikat yang tersimpul di belakang dunia fenomena, membahas
ontologi, teologi, kosmologi, dan antropologi.
2) Epistemologi ialah cabang filsafat yang membahas atau mengkaji
asal, struktur, metode, serta keabsahan pengetahuan.
3) Aksiologi adalah
cabang filsafat yang mempelajari nilai, yaitu etika dan estetika.
Filsafat, falsafah atau fhilosophia
secara harfiah berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta
kepada kebenaran. Maksudnya, setiap orang yang berfilsafah akan menjadi
bijaksana. Orang yang cinta kepada pengetahuan disebut philosopher, yang didalam bahasa Arab
disebut failasuf.
Pendapat Sidi Gazalba yang
mengartikan filsafat adalah berfikir secara mendalam, sistematik,
radikal, dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti atau hakikat
mengenai segala yang ada (Sidi Gazalba, 2007:15).
Dari pengertian tersebut ada lima unsur yang mendalami sebuah pemikiran
filsafat, yaitu:
1) Filsafat itu sebuah ilmu pengetahuan
yang mengandalkan penggunaan akal (rasio) sebagai sumbernya. Akal digunakan sebagai
sumber filsafat, karena filsafat merupakan kegiatan dan
proses berfikir.
2) Tujuan filsafat adalah mencari
kebenaran atau hakikat segala sesuatu yang ada.
3) Objek material filsafat adalah
segala sesuatu yang ada. Segala sesuatu yang ada mencakup “ada yang tampak” dan “ada yang tidak tampak”. Ada yang tampak adalah dunia empiris
dan ada yang tidak tampak adalah alam metafisika. Sebagian pakar filsafat
membagi objek material filsafat dalam tiga bagian, yaitu yang
ada dalam kenyataan, yang ada dalam pikiran, dan yang ada dalam kemungkinan. Adapun objek formal filsafat adalah sudut pandang yang
menyeluruh, radikal dan objektif tentang yang ada, untuk dapat
diketahui hakikatnya (Lasiyo dan Yuono, 2005:6).
4) Metode yang digunakan dalam berfikir
filsafat adalah mendalam, sistematik, radikal, dan universal. Mendalam artinya bukan hanya sekedar berfikir, tetapi bersikap sungguh-sungguh dan
tidak berhenti sebelum yang difikirkan dapat dipecahkan. Sistematik artinya menggunakan aturan-aturan tertentu yang secara khusus
digunakan dalam logika. Radikal
berarti menukik hingga intinya atau akar persoalannya. Universal maksudnya adalah bahwa
filsafat tidak dikhususkan untuk kelompok atau wilayah tertentu,
tetapi menembus batas-batas etnis, geografis, kultural dan sosial.
5) Oleh karena itu filsafat menggunakan
akal sebagai sumbernya, maka keberhasilan yang dihasilkannya dapat diukur melalui
kelogisannya. Paradigma ini dapat diterima semua kalangan selama
argumentasi yang dikemukakanya itu benar. Kebenaran ini akan
dibantah oleh kebenaran lain yang mempunyai argumentasi yang logis
pula. Jadi kebenaran filsafat bersifat tentatif dan relatif.
Dengan kelima unsur diatas, tampak
bahwa filsafat merupakan sebuah ilmu pengetahuan, karena memenuhi
beberapa syarat ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, banyak ahli
yang menyebutkan filsafat sebagai ilmu (science). Dalam kaitan ini, Syaifuddin Anshari bahkan menyebut filsafat sebagai
“ilmu istimewa”, karena filsafat mencoba menjawab
persoalan-persoalan yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa.
B.
Pendidikan
Kata pendidikan berasal dari kata
didik. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan ialah proses pengubahan
sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan (Dinas P & K, 2003:204).
Pendidikan menurut Ngalim Porwanto
yaitu segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk
memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan (Ngalim Purwanto, 2007:10).
Dalam kajian dan pemikiran
pendidikan terlebih dahulu perlu diketahui dua istilah yang hampir sama bentuknya dan
sering dipergunakan dalam dunia pendidikan yaitu paedagogie dan paedagogiek. Paedagogie berarti
“pendidikan” sedangkan paedagogiek berarti “ilmu pendidikan”. Paedagogiek atau ilmu pendidikan adalah yang menyelidiki, merenungkan tentang gejala-gejala
perbuatan mendidik. Istilah ini berasal dari kata “paedagogia” (yunani) yang berarti pergaulan dengan anak-anak. Sedangkan yang
sering digunakan istilah paedagogos
adalah seorang pelayan (bujang) pada zaman yunani kuno yang pekerjaannya mengantar dan menjemput
anak-anak ke dan dari sekolah. Pedagogos
berasal dari kata paedos (anak)
dan agoge (saya membimbing, mempimpin)
Perkataan paedagogos yang pada
mulanya berarti pelayan kemudian berubah menjadi pekerjaan yang mulia. Karena
pengertian paedagoog (dari paedagogos) berarti seorang yang
tugasnya, membimbing anak didalam pertumbuhanya kearah berdiri
sendiri dan bertanggung jawab.
Dalam pengertian yang sederhana dan umum
makna pendidikan adalah sebagai usaha manusia untuk
menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi bawaan baik jasmani
maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada didalam masyarakat
dan kebudayaan. Pengertian pendidikan menurut tersebut dapat disimpulkan:
1)
Pendidikan adalah proses pencarian
pengetahuan yang dilakukan oleh umat manusia sejak ia dilahirkan (kandungan)
sampai dengan meninggal dunia (Jalaluddin, 2001:147).
2)
Pendidikan adalah mempersiapkan dan
menumbuhkan beberapa aspek (badan, akal, rohani) pada anak didik atau
individu manusia yang prosesnya berlangsung secara terus menerus sejak
ia lahir sampai ia meninggal dunia dan di arahkan agar ia
menjadi manusia yang berdaya guna dan berhasil guna untuk dirinya dan
orang lain (Abu Tauhied, 2010:13).
Berdasarkan beberapa pengertian
pendidikan yang telah diuraikan diatas maka terdapat beberapa ciri atau
unsur umum dalam pendidikan yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
1)
Pendidikan mengandung tujuan yang
ingin dicapai, yaitu individu yang kemampuan-kemampuan dirinya berkembang sehingga bermanfaat untuk kepentingan hidupnya sebagai seorang
individu, maupun sebagai warga Negara atau warga masyarakat.
2)
Untuk mencapai tujuan tersebut,
pendidikan perlu melakukan usaha yang disengaja dan terencana untuk memilih isi
(bahan materi), strategi kegiatan, dan tekhnik penilaian yang
sesuai.
3)
Kegiatan tersebut dapat diberikan
dilingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat berupa pendidikan jalur sekolah
(formal), dan pendidikan jalur luar sekolah (informal dan
nonformal).
Pendidikan pada hakikatnya akan
mencangkup kegiatan mendidik, mengajar dan melatih. Kegiatan tersebut kita
laksanakan sebagai suatu usaha untuk mentransformasikan
nilai-nilai maka dalam pelaksanaanya, ketiga kegiatan tersebut harus berjalan
secara terpadu dan berkelanjutan serasi dengan perkembangan peserta
didik dan lingkungan hidupnya. Nilai-nilai yang
ditransformasikan mencakup nilai-nilai religi, nilai-nilai akhlak, nilai-nilai
kebudayaan, nilai-nilai sains dan teknologi, nilai-nilai seni dan
keterampilan.
Nilai-nilai yang ditransformasikan
tersebut dalam rangka mempertahankan, mengembangkan, bahkan kalau perlu
mengubah kebudayaan yang dimiliki masyarakat. Maka disini akan
terlihat bahwa pendididan akan berlangsung dalam kehidupan.
C.
Filsafat pendidikan
Menurut Al-Syaibany, filsafat
pendidikan adalah aktivitas pikiran yang teratur yang menjadikan filsafat sebagai
jalan untuk mengatur, menyelaraskan, dan memadukan proses
pendidikan (Umar Muhammad Al Toumy Al Syaibani, 2007:19).
Dalam
pandangan Jhon Dewey filsafat pendidikan merupakan aplikasi suatu analisis
filosof terhadap pendidikan termasuk dalam
problematika dalam pendidikan.
Dalam
hubungan ini Al-Syaibani menjelaskan bahwa pendidikan adalah usaha mengubah
tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya sebagai bagian dari kehidupan
masyarakat dan kehidupan alam sekitarnya dan
pengalaman kemanusiaan merupakan faktor yang integral. Oleh karena itu di
simpulkan bahwa filsafat pendidikan adalah sebagai sarana bagi manusia untuk
dapat memecahkan berbagai problematika kehidupan yang dihadapinya.
Filsafat
pendidikan juga bisa didefinisikan sebagai kaidah filosof dalam bidang
pendidikan yang menggambarkan aspek-aspek pelaksanaan falsafah umum dalam upaya
memecahkan persoalan-persoalan pendidikan secara peraktis, pendidikan adalah sebagai proses
pembentukan kemampuan dasar
yang fudamental.
Filsafat
pendidikan dapat menjelaskan nilai-nilai dan maklumat-maklumat yang diupayakan
untuk mencapainya. Dengan demikian, ada
baiknya kita melihat beberapa konsep mengenai pengertian pendidikan itu sendiri, baik yang menyangkut daya pikir
(intelektual) maupun daya perasaan (emosional) menuju tabiat manusia.
Dari uraian
di atas dapat kita tarik suatu pengertian bahwa filsafat pendidikan sebagai
ilmu pengetahuan normatif dalam bidang pendidikan merumuskan kaidah-kaidah
norma-norma dan atau ukuran tingkah laku perbuatan yang sebenarnya dilaksanakan
oleh manusia dalam hidup dan kehidupannya.
Menurut
Jhon Dewey. Menurut Imam Barnadib filsafat pendidikan merupakan ilmu uang pada
hakikatnya merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam bidang
pendidilkan, filsafat
pendidikan merupakan suatu pembentukan kemampuan dasar yang fudamental, jika dilihat dari fungsinya secara
peraktis yang menyangkut:
daya pikir (intelektual) maupun daya rasa (emosi), Artinya, pendidikan adalah bimbingan ecara sadar
dari pendidik terhadap perkembangan jasmani dan ruhani anak didikmenuju
terbentuknya manusia yang memiliki yang utama dan ideal.
D.
Pengertian dan
Ruang Lingkup Pendidikan Indonesia
1.
Pengertian
Pendidikan Indonesia
Ilmu
pendidikan adalah ilmu yang membicarakan masalah-masalah yang berkaitan dengan
persoalan pendidikan atau ilmu yang mempersoalkan pendidikan dan kegiatan
pendidikan. Istilah education dalam bahasa inggris yang berasal dari bahasa
latin educare yang artinya memasukkan sesuatu, barang kali bermaksud memasukkan
ilmu ke kepala orang .
Kata
pendidikan sering kali diartikan dalam kehidupan sehari-hari dengan lembaga
pendidikan dan adakalah diartikan dengan hasil pendidikan. Menurut Dictionary of education ; Pendidikan
diartikan, proses sosial yang di mana orang-orang atau anak dipengaruhi dengan
lingkungan yang (sengaja) dipilih dan dikendalikan (misalnya oleh guru di
sekolah) sehingga mereka memperolah kemampuan-kemampuan sosial dan perkembangan
individu yang optimal. Sedangkan menurut Ki Hajar Dewantara , mendidik adalah
menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai
manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan
kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
Secara garis
besar metode pengajaran dapat diklarifikasikan menjadi dua bagian, yakni:
1)
Metode Mengajar Konvensional.
Yaitu metode mangajar yang lazim
dipakai oleh guru atau sering disebut metode tradisional. Berikut ini beberapa metode mengajar konvensional,
antara lain:
a.
Metode ceramah, tehnik
penyampaian pesan pengajaran yang sudah lazim dipakai oleh para guru disekolah.
Ceramah diartikan sebagai suatu cara penyampaian bahan secara lisan oleh guru
di muka kelas.
b.
Metode diskusi, suatu cara
mempelajari materi pelajaran dengan memperdebatkan masalah yang timbul dan
saling mengadu argumentasi secara rasional dan objektif.
c.
Metode Tanya jawab, penyampaian
pesan penganjaran dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan siswa
memberikan jawaban, atau sebaliknya siswa diberi kesempatan bertanya dan guru
yang menjawab pertanyaan.
d.
Metode demontrasi dan
eksperimen, salah satu tehnik mengajar yang dilakukan oleh seorang guru
atau orang lain yang dengan sengaja diminta atau siswa sediri yang ditunjuk
untuk memperlihatkan kepada kelas tentang suatu proses cara melakukan sesuatu.
e.
Metode resitasi, metode ini biasa
disebut pekerjaan rumah, kerena siswa diberi tugas-tugas secara khusus di luar
jam pelajaran.
f.
Metode kerja kelompok, metode kerja
kelompok dilakukan atas dasar pandangan bahwa anak didik merupakan suatu
kesatuan yang dapat dikelompokkan sesuai dengan kemampuan dan minatnya untuk
mencapai suatu tujuan penganjaran tertentu dengan sistem gotong royong.
g.
Metode karya
wisata, metode pengajaran yang dilakuakn dengan mengajak para siswa
ke luar kelas untuk mengunjungi suatu peristiwa atau tempat yang ada kaitannya
dengan pokok bahasan.
h.
Metode sistem regu, sistem beregu
ini merupakan gagasan baru yang berkembang sebagai sakah satu minofasi metode
mengajar dan juga dikenal dengan team teaching.
i.
Metode Drill, metode drill atau
disebut latihan dimaksudkan untuk memperoleh ketangkasan atau ketrampilan
latihan terhadap apa yang dipelajari, kerena dengan melakukannya secara praktis
suatu pengetahuan dapat disempurnakan dan disiap-siagakan.
2)
Metode Mengajar Inkonvensional.
Yaitu suatu tehnik mengajar yang
baru berkembang dan belum lazim digunakan secara umum, seperti metode mengajar
dengan modul, pengjaran berprogram, pengajaran unit, dll.
Guru adalah orang yang bertanggung
jawab terhadap pendidikan dan kedewasaan seorang anak. Jadi seorang yang
disebut pendidik itu kerena adanya peranan dan tanggung jawabnya dalam mendidik
seorang anak. Selanjutnya siapakah pendidik itu? Menurut Langeveld yang
termasuk faktor pendidik itu adalah, pertama, orang tua. Kedua,
orang dewasa yang lain yang bertanggung jawab terhadap kedewasaan seorang anak.
Murid (anak didik) adalah anak atau
orang yang belum dewasa atau belum memperoleh kedewasaan atau seseorang yang
masih menjadi tanggung jawab seorang pendidik tertentu (masih mempunyai
ketergantungan) kepada guru (pendidik) kerena sangat memerlukan bantuan
pendidiknya untuk dapat menyelenggarakan dan melanjutkan hidupnya baik secara
jasmani maupun rohani.
Karakter anak didik:
a.
Seseorang yang belum dewasa atau
belum memperoleh kedewasaan ; ia masih menjadi tanggung jawab seorang pendidik
tertentu.
b.
Anak yang sedang berkembang; sejak
lahir sampai meninggal anak mengalami perkembangan. Kerena itu pendidik harus
membantu anak baik perkembangan jiwanya, pengetahuannya, dan penguasaan
diriterhadap lingkungan sosialnya.
c.
Dapat dididik dan harus dididik.
Anak hakikatnya adalah “animal education” yaitu makhluk yang dapat dididik,
kerena anak mempunyai bakat dan disposisi-disposisi yang memunghkinkan pendidikan
(Prof. DR. sutari Imam Burnadib, 1987)
Alat dan
sarana pendidikan merupakan salah satu faktor pendidikan yang sengaja diadakan
dan digunakan untuk pencapaian tujuan pendidikan. Menurut Sutari Imam Barnadib
yang dimaksud faktor adalah segala sesuatu yang secara langsung membantu
terlaksanakannya pendidikan.
Faktor alat
tersebut menurut wujudnya dapat dibagi menjadi:
a.
Berupa benda-benda yang diperlukan
dalam pelaksanaan pendidikan, seperti alat-alat yang ada di dalam rumah, alat
perlengkapan sekolah, dll. Ini sering disebut “sarana pendidikan”. Benda yang
difungsikan untuk menbantu pelaksanaan disebut sarana pendidikan, khusus di
sekolah, seperti: bangunan sekolah, ruang belajar, meja kursi belajar, dll.
b.
Bukan merupakan benda tetapi berupa
perbuatan pendidik yang digunakan untuk pencapaian pendidikan. Faktor yang
kedua ini yang di sebut “alat pendidikan”. Perbuatan pendidik, dapat berupa
tindakan atau situasi, seperti: pengajaran ,nasihat, teladan, tata tertib,
disiplin. dll.
2.
Ruang Lingkup Pendidikan
Indonesia
Sedangkan ruang lingkup ilmu pendidikan itu adalah imu yang membicarakan bagaimana cara atau tehnik
menyajikan bahan pelajaran terhadap siswa agar tercapai suatu tujuan yang telah
ditetapkan secara efektif dan efesien. Bila mana dikaitkan dengan pengajaran
yang harus disampaikan kepada siswa di sekolah atau madrasah, maka batasannya
terletak pada metode atau tehnik apakah yang lebih cocok digunakan dalam
penyampaian materi agama tersebut, dan prinsip-prinsip pengajaran yang
bagaimanakan yang seharusnya diterapkan oleh seorang guru dalam kegiatan
belajar dan mengajar, hal tersebut tentu berkaitan erat dengan metodik khusus
dan umum. Di samping memperhatikan prinsip-prinsip umum yang berlaku dalam
pengajaran agama secara umum, juga faktor-faktor seperti: tingkatan sekolah,
karakteristik siswa, latar belakang sosial dan pendidikan anak sangat perlu
dipertimbangkan.
Dari
beberapa rumusan tersebut diatas terlihat penekanan pendidikan Indonesi pada bimbingan dan pengajaran yang
mengandung konotasi otoritatif pihak pelaksana pendidikan (guru).
Dengan bimbingan sesuai, maka anak didik mempunyai ruang yang cukup luas untuk mengaktualisasikan segala
potensi yang dimilikinya. Pendidik lebih berfungsi sebagai
fasilitator, atau penunjuk jalan kearah penggalian potensi anak didik. Dengan
demikian, guru bukanlah segala-galanya, sehingga tidak menganggap
anak didik sebagai manusia kosong yang perlu diisi.
Dengan
kerangka dasar ini, maka guru menghormati anak didik yang memiliki
berbagai potensi. Sehingga dapat dihindari apa yang disebut dengan “ banking system” dalam pendidikan yang banyak dikritik dewasa ini.
E.
Hakikat Pendidikan Indonesia
Dunia
ini penuh dengan intrik. Semua permasalahan bermunculan dan seakan saling
berketerkaitan satu sama lain. Pendidikan menjadi salah satu unsur yang paling
sering mendapatkan kecaman, menjadi kambing hitam dibalik semua kerusuhan yang
ada. Lantas apakah hakikat pendidikan sebenarnya? Mengacu
pada keadaan pendidikan Indonesia yang semakin lama terpuruk dalam jurang
kegagalan. Ditilik lebih dalam lagi, sistem pendidikan Indonesia menunjukkan
kualitas yang jauh dari harapan. Pelaku pendidikan, objek pendidikan dan
perantara pendidikan perlu dibenahi lebih dalam agar mencapai tujuan pendidikan
yang didamba. Mengapa harus ada pendidikan? Dengan adanya pendidikan, kita
mampu menciptakan generasi bangsa yang siap dan tangguh dalam menjalankan
pemerintahan di setiap aspek untuk mencapai kemakmuran.
“…. tujuan pendidikan
yang sebenarnya, siswa diharapkan memahami dan mampu mengaplikasikan ilmu yang
diperoleh dalam kehidupan sehari-hari dan dijadikan bekal untuk mengarungi masa
depan. ….”
Oleh
sebab itulah, hakikat pendidikan sangat dibutuhkan
untuk mencetak generasi bangsa yang diinginkan. Sekolah merupakan lembaga
formal yang dijadikan sebagai fasilitas untuk mewadahi para generasi bangsa
dalam mengenal dan belajar tentang hakikat ilmu. Berangkat dari tujuan
tersebut, dapat diperoleh suatu pandangan bahwa sekolah merupakan harapan dari
masyarakat untuk bisa mewujudkan generasi emas bangsa. Akan tetapi sampai
sejauh ini, lembaga sekolah formal masih belum bisa memenuhi harapan.
Dunia pendidikan memang semakin terpuruk dengan ketidakjelasan
birokrasi, fasilitas dan penanganan pendidikan yang ada. Jika tidak, bagaimana
datangnya angka putus sekolah sebanyak 12 juta siswa di tahun 2007. Fakta
tersebut merupakan suatu hal ironi dimana lembaga legislatif seperti DPR dan
MPR yang harusnya menjadi panutan masyarakat memberikan bantuan selayaknya pada
kekeringan dana di dunia pendidikan, tidak menuntut dibangunnya gedung baru
yang seharusnya bisa dialokasikan untuk membantu siswa putus sekolah. Fakta
tersebut memang miris namun itu adalah fakta yang terjadi di lingkungan
kenegaraan saat ini.
Kembali
ke persoalan hakikat pendidikan yang sebenarnya.
Kemunculan UAN (Ujian Akhir
Nasional) untuk menguji kompetensi akademik kognitif tiap siswa dirasa
merupakan sebuah keputusan yang jauh dari tujuan pembelajaran. Apabila
dikembalikan pada tujuan pendidikan yang sebenarnya, siswa diharapkan memahami
dan mampu mengaplikasikan ilmu yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari dan
dijadikan bekal untuk mengarungi masa depan. Dengan keberadaan UAN, siswa bukannya dengan antusias
mempelajari dan mengembangkan ilmu yang diperoleh, namun cenderung tertekan
karena harus kerja rodi agar tak menanggung malu jika tidak lulus.
Bahkan
segala cara digunakan agar dapat lulus dari UAN. Mencontek pun bukan menjadi masalah bahkan direkomendasikan
oleh oknum guru agar sekolah tidak menanggung malu jika ada siswanya tidak
lulus. Apakah itu hakikat pendidikan
yang sebenarnya? Berkaca dari Freire, ia mengatakan bahwa sebenarnya hakikat pendidikan adalah membebaskan.
Siswa yang merasa bebas untuk mempelajari studi yang mereka sukai akan lebih
mencapai hasil yang maksimal dalam mencapai tujuan pembelajaran.
F.
Dasar-dasar Pendidikan Indonesia
Pancasila yang tercantum
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang diterapkan pada tanggal 18
Agustus 1945 adalah dasar negara, kepribadian, tujuan dan pandangan hidup
bangsa Indonesia. Sebagai dasar negara, pandangan hidup bangsa, Pancasila
merupakan pedoman yang menunjukkan arah, cita-cita dan tujuan bangsa. Demikian pula
halnya dengan pendidikan yang dilaksanakan di Indonesia. Pancasila menjadi
dasar sistem nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, segai
termasuk dalam Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila sehingga pendidikan nasional
Indonesia adalah pendidikan Pancasila.
Karena itu, Pancasila
harus menjadi semua dasar kegiatan pendidikan di Indonesia. Selain berdasarkan
Pancasila, pendidikan nasional juga bercita-cita untuk membentuk manusia
Pancasialis, yaitu manusia indonesia yang menghayati dan mengamalkan Pancasila
dan sikap perbuatan dan tingkah lakunya, baik dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Melalui sistem pendidikan nasional diharapkan setiap
rakyat indonesia mempertahankan hidupnya, mengembangkan dirinya dan secara
bersama-sama membangun masyarakatnya.
Pendidikan di Indonesia
memiliki landasan ideal adalah Pancasila, landasan konstitusional ialah UUD
1945, dan landasan oprasional ialah Ketetapan MPR tentang GBHN. Adapun yang
dimaksud dengan dasar di sini adalah sesuatu yang menjadi kekuatan bagi tetap
tegaknya suatu bangunan atau lainnya, seperti pada rumah atau gedung, maka
pondasilah yang menjadi dasarnya.Begitu pula halnya dengan pendidikan, dasar
yang dimaksud adalah dasar pelaksanaannya, yang mempunyai peranan penting untuk
dijadikan pegangan dalam melaksanakan pendidikan di sekolah-sekolah atau di
lembaga-lembaga pendidikan lainnya.
Adapun dasar pendidikan
di negara Indonesia secara yuridis formal telah dirumuskan antara lain sebagai
berikut:
1)
Undang-Undang tentang
Pendidikan dan Pengajaran No. 4 tahun 1950, Nomor 2 tahun 1945, Bab
III Pasal 4 Yang Berbunyi: Pendidikan dan pengajaran berdasarkan atas asas-asas
yang termasuk dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar RI dan kebudayaan bangsa
Indonesia.
2)
Ketetapan MPRS No.
XXVII/ MPRS/ 1966 Bab II Pasal 2 yang berbunyi: Dasar pendidikan adalah
falsafah negara Pancasila.
3)
Dalam GBHN tahun 1973,
GBHN 1978, GBHN 1983 dan GBHN 1988 Bab IV bagian pendidikan berbunyi:
Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila.
4)
Tap MPR Nomor
II/MPR/1993 tentang GBHN dalam Bab IV bagian Pendidikan yang berbunyi:
Pendidikan Nasional (yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
5)
Undang-undang RI No 2
Tahun 1989, tentang Sistem Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945.
6)
Undang-undang RI No 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945.
Dengan demikian jelaslah bahwa dasar pendidikan di Indonesia adalah
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sesuai dengan UUSPN No. 2 tahun 1989 dan
UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003.
1)
Pokok-Pokok Isi
Pendidikan di Indonesia.
2)
Nilai pancasila,
hendaknya dijabarkan dan menjiwai isi pendidikan dalam arti menjadi program
dari berbagai jenis dan tingkat pendidikan.
3)
Keseluruhan isi
pendidikan harus ditransformasikan secara simultan kepada anak didik demi
terbentuknya pribadi- pribadi pancasila.
4)
Hal-hal yang Perlu Diperhatikan Dalam
Pelaksanaan Pendidikan
5)
Kegunaannya bagi bangsa
Indonesia dan umat manusia.
Pada dasarnya, pendidikan sangat penting untuk dilakukan. Manfaat
pendidikan dapat memberikan banyak kegunaan.
1)
Memberikan informasi dan
pemahaman.
Manfaat pendidikan
pertama adalah untuk meningkatkan serta pemahaman terhadap ilmu pengetahuan
secara menyeluruh kepada setiap anggota didik. Hal ini merupakan salah satu hal
yang paling penting dan merupakan tujuan serta manfaat utama dari pendidikan.
Dengan adanya pendidikan, maka setiap peserta didik akan dibantu dalam memahami
dan mengenal berbagai macam ilmu pengetahuan yang terus berkembang.
2)
Menciptakan generasi
penerus bangsa.
Manfaat pendidikan yang
kedua adalah mampu untuk menciptakan generasi penerus bangsa yang expert atau
ahli dalam berbagai bidang. Hal ini berhubungan dengan tersedianya berbagai
macam jenjang pendidikan dan juga penjurusan yang ada, sehingga dapat membantu
melahirkan banyak sekali generasi muda ynag berguna bagi banyak orang sesuai
dengan disiplin ilmu yang dipelajari.
3)
Memperdalam suatu ilmu
pengetahuan.
Selain dapat membantu
menciptakan generasi bangsa yang baik dan cerdas, pendidikan juga dapat
bermanfaat bagi seseorang yang sedang ingin memperdalam suatu disiplin ilmu
tertentu. Biasanya manfaat ini akan sangat terasa bagi mereka yang mengabdikan
dirinya menjadi peneliti dari suatu disiplin ilmu, dan bertekad mengembangkan
ilmu pengetahuan tersebut.
4)
Gelar pendidikan untuk
karir.
Pentingnya untuk
mendapatkan gelar yang nantinya berguna untuk keperluan karir di masa yang akan
datang. Meskipun gelar bukanlah segalanya, namun demikian untuk mendapatkan
jenjang karir yang memuaskan, gelar dari bidang atau disiplin ilmu tertentu
sangatlah penting. Gelar akan menunjukkan keahlian seseorang terutama dalam
bidang pekerjaan dan juga pengembangan karir individu.
5)
Membentuk pola pikir
yang ilmiah.
Pola pikir antara mereka
yang menempuh pendidikan dan yang tidak pernah menempuh jenjang pendidikan
pastilah akan berbeda. Dunia pendidikan memungkinkan seseorang memiliki jalan
dan pola pikir yang ilmiah, yaitu terstruktur dan berdasarkan fakta-fakta yang
ada.
6)
Mencegah terbentuknya
generasi yang “Bodoh”.
Mungkin agak sedikit
kasar, namun seperti inilah kenyataannya. Dunia pendidikan sangat baik
manfaatnya untuk mencegah terjadinya pembodohan. Dengan adanya pendidikan, maka
individu akan semakin memahami hal apa saja yang baik dan juga benar, sehingga
dapat mencegah berbagai macam tindak-tindakan bodoh, yang dapat merugikan
banyak pihak.
7)
Menambah pengalaman
peserta didik.
Manfaat pendidikan
lainnya adalah mampu untuk meningkatkan pengalaman-pengalaman bagi para
individu dan juga peserta didik. Hal ini tentu saja dapat membantu seseorang
untuk bekerja lebih baik lagi, sesuai dengan pengalaman yang sudah pernah
mereka peroleh di bangku pendidikan.
8)
Mencapai aktualisasi
Diri
Aktualisasi diri
merupakan tingkatan tertinggi yang bisa dicapai oleh manusia, dimana dalam
aktualisasi diri, seseorang sudah memiliki banyak sekali pengalaman-pengalaman
dan juga sudah mampu untuk mengaktualisasikan dirinya. Dengan pendidikan, maka
tingkatan aktualisasi diri ini akan tercapai pada diri individu.
9)
Mencegah terjadinya
tindak kejahatan.
Dengan adanya
pendidikan, maka seseorang akan memahami apa yang baik dan juga apa yang salah.
Hal ini tentu saja akan berpengaruh dan juga bermanfaat untuk mencegah
terjadinya tindak kejahatan.
10)
Mengajarkan fungsi
sosial dalam masyarakat.
Tidak hanya mengajarkan
pemahaman mengenai suatu disiplin ilmu tertentu, pendidikan juga mengajarkan
mengenai interaksi sosial dalam masyarakat. Hal ini tentu saja akan membantu
seseorang memahami fungsi-fungsi sosial yang harus diterapkan didalam
masyarakat untuk menjadi individu yang berguna bagi bangsa dan negara.
11)
Meningkatkan
produktivitas.
Dengan semakin tingginya
pengalaman dan juga tingkat pendidikan dari seseorang, maka hal ini akan
berpengaruh pula terhadap kondisi produktivitas dari individu itu sendiri.
Menjadi individu yang produktif adalah menjadi individu yang mampu menghasilkan
sesuatu, tidak hanya uang, melainkan dapat berguna bagi siapa saja yang membutuhkan.
12)
Mengoptimalkan talenta
seseorang.
Setiap orang dipercaya
lahir dengan beragam talenta. Kalaupun memang tidak, didalam dunia pendidikan
terdapat kesempatan bagi semua orang untuk mengetahui dan juga mengembangkan
talenta yang dimiliki. Dengan adanya pendidikan, maka talenta atau bakat serta
minat yang dimiliki seseorang dapat berkembang secara optimal dan dapat
dimanfaatkan untuk kepentingan orang banyak.
13)
Membentuk karakter
bangsa.
Manfaat pendidikan
selanjutnya adalah untuk membentuk membentuk karakter bangsa yang bermartabat
juga bermoral. Sejalan dengan tujuannya, pendidikan juga harus bermanfaat untuk
meningkatkan dan juga membentuk karakter dari bangsa yang bermartabat dan juga
bermoral baik. Hal ini tentu saja akan sangat berpengaruh terhadap kemajuan
dari negara kita.
14)
Memperbaiki cara
berfikir individu.
Seiring dengan
bertambahnya pengalaman dan juga tingkat pendidikan yang sudah ditempuh oleh
individu, maka hal ini tentu saja akan sangat berpengaruh terhadap cara
berfikir individu. Cara berfikir dan analisa yang dilakukan oleh seseorang akan
meningkat dan akan menjadi lebih baik lagi.
15)
Meningkatkan taraf hidup
manusia
Pendidikan juga
bermanfaat untuk meningkatkan taraf hidup seseorang dimana mereka yang sudah
pernah mengenyam pendidikan akan lebih mengerti rasa saling menghargai.
16)
Membentuk kepribadian
seseorang.
Manfaat penting lainnya
dari pendidikan adalah mampu untuk membentuk kepribadian seseorang. Beberapa
kepribadian yang terbentuk di dalam diri seseorang memang sangat dipengaruhi
oleh kualitas dan juga tingkatan pendidikan yang sudah pernah ditempuh oleh
individu.
17)
Mencerdaskan anak-anak bangsa.
Manfaat berikutnya,
pendidikan sangat penting untuk mencerdaskan berbagai anak-anak bangsa, terutama mereka yang sedang
mengenyam pendidikan dasar, harus melalui proses pendidikan dengan baik dan
benar agar terbentuk generasi bangsa yang cerdas.
18)
Menjamin terjadinya
integrasi sosial
Pendidikan juga dapat
meningkatkan integrasi sosial. Hal ini berhubungan dengan meningkatnya pemahaman
mengenai fungsi-fungsi sosial yang ada
didalam masyarakat, sehingga dengan terbentuknya integritas sosial maka akan
terbentuk pula negara yang sejahtera.
19)
Meningkatkan kreativitas.
Dengan menempuh jenjang-jenjang pendidikan, maka hal ini dapat
membantu seseorang untuk mengembangkan dan juga meningkatkan kreativitas. Hal
ini tentu saja amat berguna bagi individu itu sendiri dan juga pastinya
berguna bagi kehidupan masyarakat luas.
20)
Menciptakan anak-anak bangsa yang cerdas.
Manfaat pendidikan yang
terakhir adalah untuk menciptakan anak-anak bangsa menjadi anak
yang cerdas, tidak mudah untuk dipengaruhi serta memiliki nilai-nilai moral dan integritas yang tinggi
sehingga dapat memajukan dan turut serta dalam membantu pembangunan negara.
Perkembangan secara horizontal (lingkungan dan masyarakat sekelilingnya)
dan perkembangan secara vertikal (demi pengembangan itu sendiri). Kegunaannya bagi pembangunan daerah dan
nasional serta dalam hubungannya dengan penciptaan lapangan kerja. Lestarinya
nilai-nilai luhur kepribadian bangsa Indonesia.
G.
Konsep
Pendidikan Indonesia
Konsep
bisa diartikan sebagai pokok pertama yang mendasari keseluruhan
pemikiran, konsep biasanya hanya ada dalam alam pikiran,
atau kadang-kadang tertulis secara singkat. Jika ditinjau dari
segi filsafat, konsep adalah suatu bentuk konkretisasi dunia
luar ke alam pikiran, sehingga dengan demikian manusia dapat
mengenal hakekat sebagai gejala dan proses, untuk dapat
melakukan generalisasi segi-segi dan sifat-sifat konsep yang hakiki. Konsep
dapat juga berarti ide umum, pengertian, pemikiran, rancangan,
rencana dasar.
Beberapa Konsep
Pendidikan Umum di Indonesia, sistem pendidikan moderen condong mengarah pada satu sistem
dehumanisasi yang ditandai
oleh penajaman kajian keilmuan atau spesialisasi terlalu berlebih didalam
bidang-bidang spesifik, jadi sistem pendidikannya condong cuma mengerti manusia pada
satu aspek spesifik saja, namun aspek-aspek yang lain diabaikan.
Pendidikan
layaknya membuahkan beberapa lulusan yang pola pikir, gaya hidup berbentuk materialistis serta tingkah laku
mekanistik, mereka jadi satu generasi yang miskin dapat
nilai-nilai kemanusiaan yang hakiki, amat
menghawatirkan generasi depan, mereka
masuk ke didalam persaingan global halalkan semua langkah untuk meraih
keberhasilan material semata.
Gambaran
kecenderungan dunia pendidikan tinggi saat ini amat mementingkan pengembangan
spesialisasi, sesaat pengembangan nilai-nilai kemanusiaan yang berbentuk
universal hampir terabaikan, jadi
anak didik butuh dibekali satu kekuatan untuk mengerti, memaknai serta
mengamalkan nilai-nilai universal.
Rencana
pendidikan umum di indonesia berangkat dari UU No. 20 tahun 2003 perihal sistem
pendidikan nasional. Menurut
tujuan pendidikan nasional, kurikulum pendidikan nasional indonesia senantiasa
berisi nilai-nilai ke-Tuhanan serta kemanusiaan dengan terintegrasi. Untuk
ditingkat perguruan tinggi di sebut mata kuliah basic umum (MKDU) yakni sekelompok mata kuliah yang berikan
landasan didalam pengembangan dunia spesialisnya tiap-tiap MKDU dirubah jadi MPK serta MBB ke-2 grup bidang studi ini adalah di antara wujud evaluasi
mahasiswa perguruan tinggi Indonesia
didalam pencapaian tujuan utama pendidikan nasional, yakni membentuk
kepribadian utuh melewati sistem evaluasi dengan terintegrasi gunakan
pendekatan multi atau interdisipliner. didalam rencana di Amerika dimaksud general education.
H.
Aliran Filsafat Pendidikan Barat
1.
Untuk mengenal perkembangan
pemikiran dunia filsafat pendidikan Barat, akan diuraikan garis-garis besar aliran-aliran filsafat pendidikan Barat:
1)
Perenialisme, yaitu
pemikiran pada zaman klasik
2)
Esensialisme, yaitu
pendidikan lebih baik seperti pada abad pertengahan.
3)
Progresivisme, yaitu
pemikiran yang baik adalah pada zaman modern.
4)
Rekontruksialisme, yaitu
semua pemikiran terdahulu adalah salah, yang baik adalah yang terbaru.
2.
Berbagai literatur filsafat
pendidikan seolah-oleh menemukan muara bahwa filsafat pendidikan adalah perenialisme, esensialisme, progresivisme dan rekonstruksionalisme (Oong Komar, 2006:158-159).
1)
Perenialisme
a.
Perenialisme berakar pada tradisi filosofis
klasik yang dikembangkan oleh Plato, Aristoteles, Santo Thomas Aquinas.
b.
Sasaran pendidikan ialah kemampuan
menguasai prinsip kenyataaan, kebenaran, dan nilai-nilai abadi dalam
arti tak terikat oleh ruang dan waktu.
c.
Nilai bersifat tak berubah dan universal.
d.
Bersifat regresif (mundur) dengan
memulihkan kekacauan saat ini melalui nilai zaman pertengahan
(renaissance).
2)
Esensialisme
a.
Esensialisme berakar pada ungkapan
realisme objektif dan idealisme objektif yang modern, yaitu alam semesta
diatur oleh hukum alam sehingga tugas manusia memahami hukum alam adalah dalam rangka penyesuaian diri pengelolanya.
b.
Sasaran pendidikan adalah
mengenalkan siswa pada karakter alam dan warisan budaya.
c.
Nilai (kebenaran) bersifat korespondensi/berhubungan antara gagasan dengan fakta secara objektif.
d.
Bersifat konservatif (pelestarian
budaya) dengan merefleksiksn humsnisme klasik yang berkembang pada zaman renaissance.
3)
Progresivisme
a.
Progresivisme berakar pada
pragmatisme.
b.
Sasaran pendidikan ialah
meningkatkan kecerdasan praktis (kompetensi) dalam rangka efektivitas pemecahan
masalah yang disajikan melalui pengalaman.
c.
Nilai bersifat relatif, terutama
nilai duniawi, menjelajah, aktif, evolusioner, dan konsekuensi perilaku.
d.
Bersifat evolusioner dengan gaya
liberalistik.
4)
Rekonstruksionisme
a.
Berakar pada perspektif (sudut
pandang) sosiologi pendidikan yang digagas oleh Karl Marx dan Karl Mennheim.
b.
Sasaran pendidikan ialah menciptakan
tatanan demokratis yang universal.
c.
Nilai bersifat persetujuan/komitmen
yang berkaitan dengan latar belakang sosial dalam era kesejahteraan (welfare state).
d.
Bersifat revolusioner yang akan
menuju kehidupan yang sejahtera pada kurun waktu tertentu.
I.
Aliran Filsafat Pendidikan Indonesia
Dalam suatu Proses pembelajaran, tidak terlepas dari
pendidikan. Pendidikan
ialah proses pengubahan tingkah laku dan sikap seseorang atau kelompok dalam
usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Dalam arti
sempit pendidikan berarti perbuatan atau proses perbuatan untuk memperoleh
pengetahuan. Dalam arti luas, pendidikan diartikan sebagai sebuah proses dengan
metode-metode tertentu sehingga orang memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan
cara bertingkah laku yang sesuai dengn kebutuhan.
Upaya
proses belajar sepanjang hayat, maka pengertian pendidikan disini adalah
merupakan usaha yang berkesinambungan untuk meningkatkan kualitas sumber daya
manusia dalam masyarakat.karena adanya perubahan dan kemajuan di masyarakat
yang disebabkan oleh berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni
yang tiada henti-hentinya.
Dengan adanya uraian diatas, maka seorang guru harus
pandai dalam mendidik. Oleh karena itu, penulis mengkaji secara garis besar
tentang „Aliran-aliran Filsafat yang terdapat di Indonesia“, salah satu
filsafat yang akan dikaji adalah Filsafat Pendidikan. Aliran filsafat
pendidikan dan penerapan yang sudah diterapkan di Indonesia.
1.
Aliran Filsafat Pendidikan Idealisme
Tokoh aliran
idealisme adalah Plato (427-374 SM), murid Sokrates. Aliran idealisme merupakan suatu
aliran ilmu filsafat yang mengagungkan jiwa. Menurutnya, cita adalah gambaran
asli yang semata-mata bersifat rohani dan jiwa terletak di antara gambaran asli
(cita) dengan bayangan dunia yang ditangkap oleh panca indera. Pertemuan antara
jiwa dan cita melahirkan suatu angan-angan yaitu dunia idea. Aliran ini
memandang serta menganggap bahwa yang nyata hanyalah idea. Idea sendiri selalu
tetap atau tidak mengalami perubahan serta penggeseran, yang mengalami gerak
tidak dikategorikan idea. Keberadaan idea tidak tampak dalam wujud lahiriah,
tetapi gambaran yang asli hanya dapat dipotret oleh jiwa murni. Alam dalam pandangan idealisme adalah gambaran dari
dunia idea, sebab posisinya tidak menetap. Sedangkan yang dimaksud dengan idea
adalah hakikat murni dan asli.
Aliran idealisme kenyataannya sangat identik dengan alam dan lingkungan
sehingga melahirkan dua macam realita.
Pertama, yang tampak yaitu apa yang
dialami oleh kita selaku makhluk hidup dalam lingkungan ini seperti ada yang
datang dan pergi, ada yang hidup dan ada yang demikian seterusnya. Kedua, adalah realitas sejati, yang
merupakan sifat yang kekal dan sempurna (idea), gagasan dan pikiran yang utuh
di dalamnya terdapat nilai-nilai yang murni dan asli, kemudian kemutlakan dan
kesejatian kedudukannya lebih tinggi dari yang tampak, karena idea merupakan
wujud yang hakiki.
Prinsipnya, aliran idealisme mendasari semua yang ada. Yang nyata di alam
ini hanya idea, dunia idea merupakan lapangan rohani dan bentuknya tidak sama
dengan alam nyata seperti yang tampak dan tergambar. Sedangkan ruangannya tidak
mempunyai batas dan tumpuan yang paling akhir dari idea adalah arche yang merupakan tempat kembali
kesempurnaan yang disebut dunia idea dengan Tuhan, arche, sifatnya kekal dan sedikit pun tidak mengalami perubahan.
Aliran idealisme berusaha menerangkan secara alami pikiran yang keadaannya
secara metafisis yang baru berupa gerakan-gerakan rohaniah dan dimensi gerakan
tersebut untuk menemukan hakikat yang mutlak dan murni pada kehidupan manusia.
Demikian juga hasil adaptasi individu dengan individu lainnya. Walaupun
katakanlah idealisme dipandang lebih luas dari aliran yang lain karena pada
prinsipnya aliran ini dapat menjangkau hal-ihwal yang sangat pelik yang
kadang-kadang tidak mungkin dapat atau diubah oleh materi.
2.
Aliran Filsafat Pendidikan Realisme
Menurut realisme, kualitas nilai tidak dapat ditentukan secara konseptual,
melainkan tergantung dari apa atau bagaimana keadaannya bisa dihayatioleh
subjek tertentu dan selanjutnya akan tergantung pula dari sikap subjek
tersebut. Teori lain yang muncul dari realisme disebut determinismetis.
Dikatakan bahwa semua yang ada dalam alam ini, termasuk manusia, mempunyai
hubungan hingga merupakan rantai sebab akibat.
Realisme dalam berbagai bentuk menurut Kattsoff (1996:126) menarik garis
pemisah yang tajam antara yang mengetahui dan yang diketahui, dan pada umumnya
cenderung ke arah dualisme atau monisme materialistik.
Menurut Amos Comenius: Manusia selalu berusaha untuk mencapai tujuan hidup
berupa keselamatan dan kebahagiaan hidup yang abadi dan kehidupn dunia yang
sejahtera serta damai. Oleh karena itu dalam pembelajaran sangat ditekankan
dengan penggunaan metode peragaan atau metode peragaan merupakan suatu
keharusan dalam proses belajar mengajar, sehingga beliau dijuluki sebagai Bapak
Keperagaan dalam Belajar Mengajar
Dengan demikian pandangan-pandangan realisme mengenai pendidikan
mencerminkan dua jenis determinasi mutlak dan determinasi terbatas :
1)
Determinisme
Mutlak, menunjukkan bahwa belajar adalah mengenal hal-hal yang tidak dapat
dihalang-halangi adanya, jadi harus ada yang bersama-sama membentuk dunia ini.
2)
Determinisme
Terbatas, memberikan gambaran kurangnya sifat pasif mengenai belajar. Bahwa
meskipun pengenalan terhadap hal-hal yang kuantitatif didunia ini tidak berarti
dimungkinkan adanya penguasaan terhadap mereka, namun kemampuan akan pengawasan
diperlukan.
3.
Aliran Filsafat Pendidikan
Materialisme
Aliran materialisme adalah suatu aliran filsafat yang berisikan tentang
ajaran kebendaan, dimana benda merupakan sumber segalanya, sedangkan yang
dikatakan materialistis mementingkan kebendaan menurut materialisme (Poerwadarminta, 1984:638). Materialisme, yang berpendapat
bahwa kenyatan yang sebenarnya adalah alam semesta badaniah. Aliran ini tidak
mengakui adanya kenyataan spiritual. Aliran materialisme memiliki dua variasi
yaitu materialisme dialektik dan materialisme humanistis. Menurut Noor Syam, (1986:162-163) semuanya
adalah materi, serba zat, serba benda, manusia merupakan makhluk ilmiah yang
tidak punya perbedaan dengan alam semesta demikian juga wujudnya yang merupakan
makrokosmos, dan tingkah laku manusia pada prosesnya sejalan dengan sifat dan gerakan
peristiwa alamiah, yang terkait dengan benda dan menjadi bagian dari hukum
alam.
Karl Marx, memberikan suatu pandangan bahwa kenyataan yang ada adalah dunia
materi, dan didalam suatu susunan kehidupan yaitu masyarakat, pada muatannya
terdapat berupa kesadaran-kesadaran yang menumbuhkan ide serta teori serta
pandangan yang semuanya adalah suatu gambaran yang nyata.
4.
Aliran Filsafat Pendidikan Pragmatisme
Pragmatisme merupakan aliran paham dalam filsafat yang tidak bersikap
mutlak (absolut) tidak doktriner tetapi relatif tergantung kepada kemampuan
minusia.
Filsafat ini dipandang sebagai filsafat Amerika asli, pada hal kenyataan
yang sebenarnya adalah berpangkal pada filsafat empirisme Inggris, yang
berpendapat bahwa sumber pengetahuan manusia adalah apa yang manusia alami.
Tokoh yang terkenal filsafat ini adalah Charles Sandre Pierce (1839-1914),
William James (1842-1910) dan John Dewey (1859-1952). Pragmatisme berasal dari
kata ”pagma” yang berarti praktik atau aku berbuat. Pendidikan menurut
pandangan pragmatisme bukan merupakan suatu proses pembentukan dari luar dan
juga bukan merupakan suatu pemerkahan kekuatan-kekuatan laten dengan sendirinya
(unfolding), melainkan merupakan suatu proses reorganisasi dan rekonstruksi
dari pengalaman-pengalaman individu; yang berarti bahwa setiap manusia selalu
belajar dari pengalamannya.
Menurut John Dewey (Sadulloh. 2003), pendidikan perlu didasarkan pada tiga
pokok pemikiran, yakni:
1)
Pendidikan
merupakan kebutuhan untuk hidup
2)
Pendidikan
sebagai pertumbuhan
3)
Pendidikan
sebagai fungsi sosial
5.
Aliran Filsafat Pendidikan Eksistensialisme
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yg pahamnya berpusat pada manusia individu
yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara
mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak
mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang
eksistensialis sadar bahwa kebenaran bersifat relatif, dan karenanya
masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar.
Eksistensialisme
adalah salah satu aliran besar dalam filsafat, khususnya tradisi filsafat
Barat. Eksistensialisme
mempersoalkan keber-Ada-an manusia, dan keber-Ada-an itu dihadirkan lewat
kebebasan. Pertanyaan utama yang berhubungan dengan eksistensialisme adalah
melulu soal kebebasan. Apakah kebebasan itu? bagaimanakah manusia yang bebas
itu? dan sesuai dengan doktrin utamanya yaitu kebebasan, eksistensialisme
menolak mentah-mentah bentuk determinasi terhadap kebebasan kecuali kebebasan
itu sendiri. Dalam studi sekolahan filsafat eksistensialisme paling dikenal
hadir lewat Jean-Paul Sartre, yang terkenal dengan diktumnya "human is
condemned to be free", manusia dikutuk untuk bebas, maka dengan
kebebasannya itulah kemudian manusia bertindak. Pertanyaan yang paling sering
muncul sebagai derivasi kebebasan eksistensialis adalah, sejauh mana kebebasan
tersebut bebas? atau "dalam istilah orde baru", apakah
eksistensialisme mengenal "kebebasan yang bertanggung jawab"? Bagi
eksistensialis, ketika kebebasan adalah satu-satunya universalitas manusia,
maka batasan dari kebebasan dari setiap individu adalah kebebasan individu
lain. Namun, menjadi eksistensialis, bukan melulu harus menjadi seorang yang
lain-daripada-yang-lain, sadar bahwa keberadaan dunia merupakan sesuatu yang
berada diluar kendali manusia, tetapi bukan membuat sesuatu yang unik ataupun
yang baru yang menjadi esensi dari eksistensialisme. Membuat sebuah pilihan
atas dasar keinginan sendiri, dan sadar akan tanggung jawabnya dimasa depan
adalah inti dari eksistensialisme. Sebagai contoh, mau tidak mau kita akan
terjun ke berbagai profesi seperti dokter, desainer, insinyur, pebisnis dan
sebagainya, tetapi yang dipersoalkan oleh eksistensialisme adalah, apakah kita
menjadi dokter atas keinginan orang tua, atau keinginan sendiri.
Filsafat ini memfokuskan pada pengalaman-pengalaman individu. Secara umum,
eksistensialisme menekankan pilihan kreatif, subjektifitas pengalaman manusia
dan tindakan kongkrit dari keberadaan manusia atas setiap skema rasional untuk
hakekat manusia atau realitas.
Beberapa tokoh dalam aliran ini : Jean Paul Satre, Soren Kierkegaard,
Martin Buber, Martin Heidegger, Karl Jasper, Gabril Marcel, Paul Tillich.
Eksistensialisme:
1)
Menekankan pada
individual dalam proses progresifnya dengan pemikiran yang merdeka dan otentik.
2)
Pada dasarnya
perhatian dengan kehidupan sebagai apa adanya dan tidak dengan
kualitas-kualitas abstraknya.
3)
Membantu
individu memahami kebebasan dan tanggung jawab pribadinya. Jadi, menggunakan
pendidikan sebagai jalan mendorong manusia menjadi lebih terlibat dalam
kehidupan sebagaimana pula dengan komitmen tindakannya.
4)
Individu
seharusnya senantiasa memperbaiki diri dalam kehidupan dunia yang terus
berubah.
5)
Menekankan
pendekatan “I-Thou” (Aku-Kamu) dalam proses pendidikan, baik guru maupun murid.
6)
Promosikan
pendekatan langsung-mendalam (inner-directed) yang humanistik; dimana siswa
bebas memilih kurikulum
dan hasil pendidikannya.
6.
Aliran
Filsafat Pendidikan Progresivisme
Progresivisme
berpendapat tidak ada teori realita yang umum dan bahwa manusia berkembang
terus menerus dalam arah yang posisitf. Apa yang dipandang benar sekrang belum
tentu benar pada masa yang akan dating. Oleh sebab itu, peserta didik bukan
dipersiapkan untuk menghidupi kehidupan masa kini, melainkan mereka harus
dipersiapkan menghadapi kehidupan masa dating. Permasalahan hidup masa kini
tidk akan sama dengan permasalahan hidup masa yang akan dating. Pengalaman
menurut progresivisme bersifat dinamis dan temporal; menyala. tidak pernah
sampai pada yang paling ekstrem, serta pluralistis. Menurut progresivisme,
nilai berkembang terus karena adanya pengalaman-pengalaman baru antara individu
dengan nilai yang telah disimpan dalam kehudayaan. Belajar berfungsi untuk
:mempertinggi taraf kehidupan sosial yang sangat kompleks. Kurikulum yang baik
adalah kurikulum yang eksperimental, yaitu kurikulum yang setiap waktu dapat
disesuaikan dengan kebutuhan.
Guru pendidik harus berperan sebagai pembimbing dan fasilitator agar
peserta didik terdorong dan terbantu untuk mempelajari dan memiliki pengalaman
tentang hal yang penting bagi kehidupan mereka, bukan memberikan sejumlah
kebenaran yang disebut abadi.
Progresivisme menekankan pada perubahan dan sesuatu yang baru. Progresivisme
berpendapat bahwa tidak ada teori realita yang umum dan ini bertentangan dengan
perenialisme. Pengalaman menurut progresivisme bersifat dinamis dan temporal,
tidak pernah sampai pada yang paling extrim serta pluralistis. Menurutnya nilai
berkembang terus karena adanya pengalaman -pengalaman baru antara individu
dengan nilai yang telah disimpan.
Progresivisme:
1)
Suka melihat manusia sebagai pemecah
persoalan (problem-solver) yang baik.
2)
Oposisi bagi setiap upaya pencarian
kebenaran absolut.
3)
Lebih tertarik
kepada perilaku pragmatis yang dapat berfungsi dan berguna dalam hidup.
4)
Pendidikan dipandang sebagai suatu
proses.
5)
Mencoba
menyiapkan orang untuk mampu menghadapi persoalan aktual atau potensial dengan
keterampilan yang memadai.
6)
Mempromosikan pendekatan
sinoptik dengan menghasilkan sekolah dan masyarakat bagi humanisasi.
7)
Bercorak
student-centered.
8)
Pendidik adalah
motivator dalam iklim demoktratis dan menyenangkan.
9)
Bergerak
sebagai eksperimentasi alamiah dan promosi perubahan yang berguna untuk pribadi
atau masyarakat.
7.
Aliran Filsafat Pendidikan Perenialisme
Perenialisme berpendirian bahwa untuk mengembalikan keadaan kacau balau
seperti sekarang ini, jalan yang harus ditempuh adalah kembali kepada
prinsip-prinsip umum yang telah teruji. Menurut. perenialisme, kenyataan yang
kita hadapi adalah dunia dengan segala isinya. Perenialisme
berpandangan hahwa persoalan nilai adalah persoalan spiritual, sebab hakikat
manusia adalah pada jiwanya. Sesuatu dinilai indah haruslah dapat dipandang
baik.
Beberapa
pandangan tokoh perenialisme terhadap pendidikan:
1)
Program pendidikan yang ideal harus
didasarkan atas paham adanya nafsu, kemauandan akal (Plato).
2)
Perkemhangan budi merupakan titik
pusat perhatian pendidikan dengan filsafat sebagai alat untuk mencapainya (
Aristoteles).
3)
Pendidikan adalah menuntun
kemampuan-kemampuan yang masih tidur agar menjadi aktif atau nyata (Thomas
Aquinas).
Adapun norma
fundamental pendidikan menurut J. Maritain adalah cinta kebenaran, cinta
kebaikan dan keadilan, kesederhanaan dan sifat terbuka terhadap eksistensi
serta cinta kerjasama.
Perenialisme:
1)
Berhubungan dengan perihal sesuatu
yang terakhir. Cenderung menekankan seni dan sains dengan dimensi perennial
yang bersifat integral dengan sejarah manusia.
2)
Pertama yang harus diajarkan adalah
tentang manusia, bukan mesin atau teknik. Sehingga tegas aspek manusiawinya
dalam sains dan nalar dalam setiap tindakan.
3)
Mengajarkan prinsip-prinsip dan
penalaran ilmiah, bukan fakta.
4)
Mencari hukum atau ide yang terbukti
bernilai bagi dunia yang kita diami.
5)
Fungsi
pendidikan adalah untuk belajar hal-hal tersebut dan mencari kebenaran baru
yang mungkin.
6)
Orientasi bersifat
philosophically-minded. Jadi, fokus pada perkembangan personal.
Memiliki dua corak:
a.
Perennial Religius: Membimbing
individu kepada kebenaran utama (doktrin, etika dan penyelamatan religius).
Memakai metode trial and error untuk memperoleh pengetahuan proposisional.
b.
Perennial Sekuler: Promosikan
pendekatan literari dalam belajar serta pemakaian seminar dan diskusi sebagai
cara yang tepat untuk mengkaji hal-hal yang terbaik bagi dunia (Socratic
method). Disini, individu dibimbing untuk membaca materi pengetahuan secara
langsung dari buku-buku sumber yang asli sekaligus teks modern. Pembimbing
berfungsi memformulasikan masalah yang kemudian didiskusikan dan disimpulkan
oleh kelas. Sehingga, dengan iklim kritis dan demokratis yang dibangun dalam
kultur ini, individu dapat mengetahui pendapatnya sendiri sekaligus menghargai
perbedaan pemikiran yang ada.
8.
Aliran
Filsafat Pendidikan Esensialisme
Esensialisme
berpendapat bahwa dunia ini dikuasai oleh tata yang tiada cela yang mengatur
dunia beserta isinya dengan tiada cela pula. Esensialisme didukung oleh
idealisme modern yang mempunyai pandangan yang sistematis mengenai alam semesta
tempat manusia berada. Esensialisme juga didukung oleh idealisme subjektif yang
berpendapat hahwa alam semesta itu pada hakikatnya adalah jiwa/spirit dan
segala sesuatu yang ada ini nyata ada dalam arti spiritual. Realisme berpendapat
bahwa kualitas nilai tergantung pada apa dan bagaimana keadaannya, apabila
dihayati oleh subjek tertentu, dan selanjutnya tergantung pula pada subjek
tersebut. Menurut idealisme, nilai akan menjadi kenyataan (ada) atau disadari
oleh setiap orang apabila orang yang bersangkutan berusaha untuk mengetahui
atau menyesuaikan diri dengan sesuatu yang menunjukkan nilai kepadanya dan
orang itu mempunyai pengalaman emosional yang berupa pemahaman dan perasaan
senang tak senang mengenai nilai tersehut. Menunut realisme, pengetahuan
terbentuk berkat bersatunya stimulus dan tanggapan tententu menjadi satu
kesatuan. Sedangkan menurut idealisme, pengetahuan timbul karena adanya
hubungan antara dunia kecil dengan dunia besar. Esensialisme berpendapat bahwa
pendidikan haruslah bertumpu pada nilai- nilai yang telah teruji
keteguhan-ketangguhan, dan kekuatannya sepanjang masa.
Essensialisme
adalah suatu filsafat pendidikan konservatif yang pada mulanya dirumuskan
sebagai suatu kritik terhadap trend-trend progreif di sekolah-sekolah.
Essensialisme, berpendapat bahwa kultur kita telah memiliki suatu inti
pengetahuan umum yang harus diberikan di sekolah-sekolah dalam suatu cara yang
sistematik dan berdisiplin. Essensialisme menekankan pada apa yang mendukung
pengetahuan dan keterampilan yang diyakini penting yang harus diketahui oleh
para anggota masyarakat yang produktif.
Essensialisme,
sepertihalnya perenialisme dan progresivisme bukan merupakan suatu aliran
filsafat tersendiri, yang mendirikan suatu bangunan filsafat, malainkan suatu
gerakan dalam pendidikan yang memprotes terhadap pendidikan progresivisme.
Essensialisme mengadakan protes tersebut tidak menolak atau menentang secara
keseluruhan pandangan progresivisme seperti halnya yang dilakukan perenislisme.
Dua aliran
filsafat – idealisme dan realisme – yang membentuk corak
essensialisme sebagai pendukung essensialisme, akan tetapi tidak lebur menjadi
satu dan tidak melepaskan sifatnya yang utama pada dirinya masing-masing.
1)
Berkaitan dengan hal-hal esensial
atau mendasar yang seharusnya manusia tahu dan menyadari sepenuhnya tentang
dunia dimana mereka tinggal dan juga bagi kelangsungan hidupnya.
2)
Menekankan data
fakta dengan kurikulum yang tampak bercorak vokasional.
3)
Konsentrasi
studi pada materi-materi dasar tradisional seperti: membaca, menulis, sastra,
bahasa asing, matematika, sejarah, sains, seni dan musik.
4)
Pola
orientasinya bergerak dari skill dasar menuju skill yang bersifat semakin
kompleks.
5)
Perhatian pada
pendidikan yang bersifat menarik dan efisien.
6)
Yakin pada
nilai pengetahuan untuk kepentingan pengetahuan itu sendiri.
7)
Disiplin mental
diperlukan untuk mengkaji informasi mendasar tentang dunia yang didiami serta
tertarik pada kemajuan masyarakat teknis.
9.
Aliran Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme adalah suatu kelanjutan yang logis dari cara berpikir
progresifisme dalam pendidikan. Tidak cukup kalau individu belajar hanya dari
pengalaman-pengalaman kemasyarakatan di sekolah. Tujuan pendidikan adalah untuk
menumbuhkan kesadaran peserta didik akan masalah-masalah sosial, ekonomi, dan
politik yang dihadapi manusia bukan hanya nasional, regional, akan tetapi juga
ecara global.
Brameld (Sadulloh:2003) mengemukakan teori pendidikan rekonstruksionisme
terdiri dari lima tesis.
Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat
generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari.
Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui
dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman
demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi
lebih dinamis. Pendekatan konstruktivisme mempunyai beberapa konsep umum
seperti:
1)
Pelajar aktif
membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada.
2)
Dalam konteks
pembelajaran, pelajar seharusnya membina sendiri pengetahuan mereka.
3)
Pentingnya
membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri melalui proses saling
mempengaruhi antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru.
4)
Unsur
terpenting dalam teori ini ialah seseorang membina pengetahuan dirinya secara
aktif dengan cara membandingkan informasi baru dengan pemahamannya yang sudah
ada.
5)
Ketidakseimbangan
merupakan faktor motivasi pembelajaran yang utama. Faktor ini berlaku apabila
seorang pelajar menyadari gagasan-gagasannya tidak konsisten atau sesuai dengan
pengetahuan ilmiah.
6)
Bahan
pengajaran yang disediakan perlu mempunyai perkaitan dengan pengalaman pelajar
untuk menarik miknat pelajar.
Konstruktivisme merupakan satu pendekatan yang didapati sesuai dipraktikkan
dalam pengajaran dan pembelajaran sains. Dalam pendekatan ini murid dianggap
telah mempunyai idea yang tersendiri tentang sesuatu konsep yang belum
dipelajari. Idea tersebut mungkin benar atau tidak.
Rekonstruksionisme:
1)
Promosi pemakaian problem solving
tetapi tidak harus dirangkaikan dengan penyelesaian problema sosial yang
signifikan.
2)
Mengkritik pola life-adjustment
(perbaikan tambal-sulam) para Progresivist.
3)
Pendidikan
perlu berfikir tentang tujuan-tujuan jangka pendek dan jangka panjang. Untuk
itu pendekatan utopia pun menjadi penting guna menstimuli pemikiran tentang
dunia masa depan yang perlu diciptakan.
4)
Pesimis
terhadap pendekatan akademis, tetapi lebih fokus pada penciptaan agen perubahan
melalui partisipasi langsung dalam unsur-unsur kehidupan.
5)
Pendidikan
berdasar fakta bahwa belajar terbaik bagi manusia adalah terjadi dalam
aktivitas hidup yang nyata bersama sesamanya.
6)
Learn by doing! (Belajar sambil
bertindak).
J.
Ciri-ciri Filsafat Pendidikan Idonesia
Filsafat
pendidikan indonesia adalah
filsafat yang digunakan dalam studi mengenai masalah-masalah pendidikan, hal ini memiliki
ciri-ciri, seperti :
1.
Kritis mempertanyakan segala sesuatu permasalahan
yang dihadapi manusia.
2.
Terdalam tidak hanya sampai pada fakta-fakta yang
khusus dan empiris tetapi sampai pada inti yang terdalam yaitu subtansinya
bersifat universal. Kaelan(2002:13).
3.
Konseptual tidak hanya pada persepsi belaka tapi
sampai pada pengertian yang bersifat konseptual.
4.
Koheren berfilsafat yang berusaha menyusun suatu
bagan secara runtut, misalnya A
B C D E F G, dst.
5.
Rasional sesuai dengan nalar, hubungan logis antara
bagian bagan konseptual.
6.
Menyeluruh pemikiran yang tidak hanya berdasarkan
pada fakta yaitu tudak sampai pada kesimpulan khusus tetapi sampai pada kisimpulan
yang paling umum.
7.
Universal sampai pada kesimpulan yang paling umum
bagi seluruh umat manusia dimanapun. Kapanpun dan dalam keadaan apapun.
8.
Spekulatif pengajuan dugaan-dugaan yang masuk akal
(rasional) yang melampaui batas-batas akal
9.
Sistematis ada hubungan antar unsure ysng runtut
tetapi rasional inlah yang dimaksud sistematis.
10. Bebas berfikir
secara bebas untuk sampai pada kakekat yang terdalam dan universal.
BAB III
METODE RISET
A.
Jenis Riset
Jenis tugas ini adalah kajian (riset) pustaka atau library
research. Riset kepustakaan adalah riset yang dilaksanakan dengan menggunakan literatur
(kepustakaan), baik berupa buku, catatan atau laporan-laporan hasil riset dari peneliti terdahulu (Iqbal Hasan, 2002:11).
Riset ini bersifat kualitatif karena uraian datanya bersifat deskriptif, lebih menekankan proses dari pada hasil,
menganalisis data secara induktif dan rancangan yang bersifat sementara (Lexy J Moleong, 2006:11).
Metode riset kualitatif disebut juga sebagai metode interpretative karena data hasil riset lebih berkenaan dengan interpretasi
terhadap data yang ditemukan di lapangan (Sugiyono, 2008:7-8).
Apa yang akan dimasukkan melalui deskripsi tergantung pada pertanyaan yang berusaha dijawab oleh penulis. Sering keseluruhan aktivitas
dilaporkan secara detail dan mendalam karena mewakili pengalaman
khusus. Deskripsi ini ditulis dalam bentuk narasi untuk melengkapi
gambaran menyeluruh tentang apa yang akan terjadi dalam aktivitas atau peristiwa
yang dilaporkan (Emzir, 2008:174-175).
B.
Sumber-Sumber Data
1.
Sumber data primer
Sumber data primer dari riset ini adalah Buku Muhaimin. Wacana Pengembangan Pendidikan
Islam, Surabaya: Pustaka Pelajar, 2003.
2.
Sumber data sekunder
Data sekunder dalam riset ini diambil dari berbagai literatur seperti buku, situs internet seperti dan
segala data yang berkaitan dengan riset, sehingga dapat membantu dalam menganalisa tulisan penulis yang berjudul “Studi
Komparatif Aliran Filsafat Pendidikan Barat dan Aliran Filsafat
Pendidikan Indonesia”.
Secara garis besar sumber bacaan
dapat dibedakan menjadi dua yaitu: sumber acuan umum dan sumber acuan khusus. Kelompok sumber acuan umum yaitu berwujud teori dan konsep, biasanya terdapat dalam buku-buku teks, ensiklopedia atau yang sejenisnya. Kelompok sumber acuan khusus yaitu berwujud teori dan konsep yang biasanya hasil-hasil penelitian terdahulu, jurnal
ilmiah, buletin, penelitian maupun disertasi yang mendukung sumber acuan umum (Ida Bagoes Mantra, 2004:55).
Sumber acuan umum adalah data yang
diperoleh dari buku-buku yang membahas tentang filsafat pendidikan Barat dan
buku-buku yang membahas tentang filsafat pendidikan Indonesia. Sumber acuan umumnya adalah:
1)
Zuhairini. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2009.
2)
Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, Alih Bahasa
Soejono Soemargono, Yogyakarta: Medio Agustus, 1987.
3)
Singgih Iswara & Hadi Sriwiyana.
Filsafat Ilmu dalam Pendidikan Tinggi, Jakarta: Cintya Press, 2010.
Kelompok sumber acuan khusus atau
sumber penunjangnya adalah data-data (acuan) yang diperoleh dari
buku-buku, jurnal-jurnal atau buletin-buletin yang masih relevan dengan pokok bahasan yang berkaitan dengan judul ini.
C.
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang
digunakan dalam tulisan ini adalah metode dokumentasi. Dokumentasi merupakan metode pengumpulan data dengan cara melihat dan mempelajari dengan menggunakan
laporan-laporan, catatan catatan, arsip yang ada serta materi-materi yang
diperoleh selama ada di bangku kuliah.
D.
Metode Analisis Data
Metode analisis data ini di sebut
juga metode pengolahan data yang mengandung pengertian proses
mengorganisasikan dan mengurutkan data dalam pola, kategori dan satuan
uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data (Lexi J. Moleong, 2006:103).
Maka dalam menganalisis data, penulis menggunakan teknik analisis
data deskriptik analitik. Yaitu data-data yang berkaitan dengan tema yang diteliti yang dikumpulkan, dan diklasifikasi yang
kemudian dilakukan deskripsi
yaitu memberikan penafsiran atau uraian tentang data yang telah terkumpul, di analisis dan ditafsirkan kemudian disimpulkan dengan metode induktif dan deduktif.
Metode induktif adalah metode
pembahasan yang berangkat dari fakta fakta khusus kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat umum (Sutrisno Hadi, 2007:36). Sedangkan metode deduktif adalah
metode pembahasan yang berangkat dari pengetahuan yang sifatnya umum
kemudian ditarik kepada peristiwa khusus (Sutrisno Hadi, 2007:42).
Penelitian ini juga bersifat kausal
komparatif (perbandingan), yakni dilakukan melalui lima tahap yaitu:
1) Penentuan masalah penelitian.
2) Penentuan kelompok yang memiliki karakteristik yang
ingin diteliti.
3) Pemilihan kelompok pembanding.
4) Pengumpulan data
5) Analisis data (Strauss dan Juliet Corbin, 2003:10-11).
BAB IV
PEMBAHASAN
A.
Kajian dari aliran-aliran filsafat
pendidikan barat bila dibandingkan dengan aliran-aliran
filsafat pendidikan Indonesia.
Istilah “perenialisme” berasal dari
kata lain latin “perenis” yang berarti “abadi” atau “kekal”.
Aliran filsafat pendidikan yang disebut perenialisme berpendapat bahwa
prinsip-prinsip dasar pendidikan itu bersifat abadi atau tetap, dan tak berubah
sepanjang zaman. Aliran ini mendapatkan dukungan baik dari kaum realis maupun
kaum idealis yang mempertahankan pentingnya prinsip-prinsip dasar pendidikan
yang berlaku mutlak mengatasi batas-batas ruang dan waktu. Bagi mereka realitas
sejati itu pada dasarnya tetap tak berubah. Kodrat manusia pada hakekatnya
tetap, demikian juga apa yang disebut kebenaran atau kebaikan. Apa yang disebut
benar dan baik akan tetap benar dan baik entah dimana dan kapan saja. Atas
dasar prinsip ini, maka pendidikan pun mesti mengacu pada prinsip-prinsip yang
bersifat abadi (Tholib, 2008:99).
Dalam hal pendidikan, perenialisme memandang
bahwa tujuan utama pendidikan adalah untuk membantu siswa dalam memperoleh dan
merealisasikan kebenaran abadi. Aliran ini menilai bahwa kebenaran itu bersifat
universal dan konstan. Maka jalan untuk mencapainya adalah melatih intelek dan
disiplin mental. Tujuan pendidikan tersebut terurai dalam format kurikulum yang
berpusat pada materi (Content Based,
Subject-Centered) dan mengutamakan disiplin ilmu sastra, matematika,
bahasa, humaniora, sejarah, dan lain-lain.
Guru dalam pandangan
perenialisme, mestilah orang yang menguasai betul terhadap disiplin
ilmunya, sehingga mampu mengarahkan muridnya menuju pada kebenaran. Sedangkan
sekolah berperan untuk melatih intelektual demi tercapainya kebenaran, dimana
kebenaran tersebut suatu ketika akan diwariskan kepada generasi berikutnya.
Oleh karena itu, sekolah harus mampu menyiapkan anak-anak dan remaja dalam
menghadapi kehidupannya. Dalam hal ini, Robert M. Hutchin yang merupakan
pelopor perenialis di Amerika, menyatakan: education implies teaching. Teaching implies knowledge. Knowledge is
truth. The truth is everywhere the same. Hence, education should be everywhere
the same (Rachman Assegaf, 2011: 194-195).
1.
Aliran
Perenialisme
Teori dasar dalam belajar menurut
perenialisme terutama:
1)
Mental discipline sebagai teori
dasar…Penganut perenialisme sependapat bahwa latihan rutin
dan pembinaan berpikir (mental disciplin) adalah salah satu kewajiban tertinggi
dari belajar, atau keutamaan dalam proes belajar (yang tertinggi).
2)
Rasionalitas dan Asas Kemerdekaan…Asas berfikir dan kemerdekaan harus menjadi tujan
utama pendidikan. Otoritas berfikir harus disempurnakan sesempurna mungkin. Dan
makna kemerdekaan pendidikan ialah membantu manusia untuk menjadi dirinya
sendiri, be him-self, sebagai essential self yang membedakannya dari makhluk-makhluk lain. Fusi belajar harus diabdikan
bagi tujuan ini, aktualitas sebagai makhluk rasional yang dengan itu bersifat
merdeka (Mohammad Nor
Syam, 2008:298).
3)
Learning to Reason (Belajar
untuk berpikir)…Perlu adanya penanaman pembiasaan
pada diri anak sejak dini dengan kecakapan membaca, menulis, dan berhitung.
Dari sini, belajar menjadi tujuan pokok sekolah menengah dan universitas
4)
Belajar sebagai persiapan hidup…Sekolah bukanlah merupakan situasi kehidupan yang nyata.
Sekolah bagi anak merupakan peraturan-peraturan yang artificial dimana ia bersentuhan dengan hasil yang terbaik dari
warisan sosial budaya.
5)
Learning through teaching (Belajar melalui pengajaran)…Fungsi guru menurut perenialisme berbeda dengan
esensialisme. Menurut esensialisme guru sebagai perantara antara bahan
(kebudayaan, ilmu, dunia) dengan anak yang melakukan proses penyerapan (absortion). Dalam pandangan
perenialisme, tugas guru bukanlah perantara antara dunia dengan jiwa anak,
melainkan guru juga sebagai murid yang mengalami proses belajar sementara
mengajar. Guru mengembangkan potensi-potensi self discovery, dan ia melakukan otoritas moral (moral authority) atas mudrid-muridnya
karena ia seorang profesional yang memiliki kualifikasi dan superior dibandingkan murid-muridnya.
Guru harus mempunyai aktualisasi yang lebih (perfect knowedge).
Atas dasar
pandangan diatas dapatlah disimpulkan bahwa belajar pada hakekatnya adalah
belajar untuk berfikir. Untuk itu perlu diadakan kebiasaan-kebiasaan sejak peserta
didik masih muda. Belajar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu belajar karena
pengajaran dan belajar karena penemuan (Abdul
Khobir, 2011:66-67).
2.
Aliran
Esensialisme
Esensialisme
berawal dari suatu gerakan dalam dunia pendidikan dan tidak mengikatkan diri
pada suatu aliran filsafat tertentu. ”Esensialisme”
berasal dari kata latin “esential”
yang berarti “hal yang pokok/hakiki”. Aliran ini merupakan reaksi terhadap
progresivisme yang terlalu menekankan metode belajar melalui pemecahan masalah
dan aktivitas sendiri para siswa/mahasiswa untuk mengikuti minat dan kebutuhan
mereka (Ismail Tholib, 2008:109).
Esensialisme
muncul pada zaman Renaissans, dengan ciri-ciri utamanya yang berbeda dengan
progressivisme. Perbedaan ini terutama dalam memberikan dasar berpijak mengenai
pendidikan yng penuh fleksibilitas, dimana serba terbuka untuk perubahan,
toleran dan tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu. Bagi esensialisme,
pendidikan yang berpijak pada dasar pandangan itu mudah goyah dan kurang terarah.
Karena itu esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada
nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama, sehingga memberikan
kestabilan dan arah yang jelas (Zuhairini, 2012:25).
Esensialisme
merupakan falsafah pendidikan tradisional yang memandang bahwa nilai-nilai
pendidikan hendaknya bertumpu pada nilai-nilai yang jelas dan tahan lama
sehingga menimbulkan kestabilan dan arah yang jelas pula. Nilai-nilai humanisme
yang dipegangi oleh esensialisme dijadikan sebagai tumpuan hidup untuk
menantang kehidupan materialistik, sekuler, dan saintifik yang gersang dari
nilai-nilai kemanusian. Gerakan esensialisme modern sebenarnya berkembang pada
awal abad ke-20, dan muncul sebagi jawaban atas aliran progresivisme (Rachman Assegaf, 2011:191).
Esensialisme
didasari atas pandangan humanisme yang merupakan reaksi terhadap hidup yang
mengarah pada keduniawian, serba ilmiah dan materialistik. Selain itu juga
diwarnai oleh pandangan-pandangan dari paham penganut aliran idealisme dan
realisme.
Tujuan umum
aliran esensialisme adalah membentuk pribadi bahagia di dunia dan akhirat. Isi
pendidikannya mencakup ilmu pengetahuan, kesenian, dan segala hal yang mampu
menggerakkan kehendak manusia. Kurikulum bagi esensialisme merupakan semacam
miniatur dunia yang bisa dijadikan sebagai ukuran kenyataan, kebenaran dan
kegunaan. Maka dalam sejarah perkembangannya, kurikulum esensialisme menerapkan
berbagai pola kurikulum, seperti pola idealisme, realisme, dan sebagainya.
Sehingga peranan sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan bisa berfungsi
sesuai dengan prinsip-prinsip dan kenyataan sosial yang ada di masyarakat (Zuhairini, 2012:25-27).
Dalam
hubungannya dengan pendidikan, esensialisme menekankan pada tujuan pewarisan
nilai-nilai kultural-historis kepada peserta didik melalui pendidikan yang
akumulatif dan terbukti dapat bertahan lama serta bernilai untuk diketahui oleh
semua orang. Pengetahuan ini dilaksanakan dengan memberikan skill, sikap dan nilai-nilai yang
tepat, yang merupakan bagian esensial dari unsur-unsur pendidikan.
Kurikulum
dipusatkan pada penguasaan materi pelajaran (subject-centered), dan karenanya
fokus pendidikan selama masa sekolah dasar adalah keterampilan membaca,
menulis, dan berhitung, sementara pada sekolah menengah hal tersebut diperluas
dengan memasukkan pelajaran matematika, sains, humaniora, bahasa, dan sastra.
Penguasaan materi kurikulum ini dianggap sebagai fondasi yang esensial bagi
keutuhan pendidikan secara umum untuk memenuhi kebutuhan hidup. Asumsinya
adalah bahwa dengan pendidikan yang ketat terhadap disiplin ilmu ini akan dapat
membantu mengembangkan intelek siswa dan pada saat yang sama akan menjadikan sadar
terhadap lingkungan dunia fisiknya. Menguasai dasar konsep dan fakta dari
disiplin ilmu yang esensial merupakan suatu keharusan.
Guru, dalam
proses pendidikan, dipandang sebagai center
for exellence, karena dituntut untuk menguasai bidang studi dan sebagai
model atau figur yang amat diteladani bagi siswa. Guru harus menguasai materi
pengetahuannya, sebab mereka dianggap memegang posisi tertinggi dalam
pendidikan. Sekolah, melalui upaya guru, berperan untuk melestarikan dan
mentransmisikan ilmu kepada para pelajar atau generasi selanjutnya yang berupa
budaya dan sejarah melalui pengetahuan dan hikmah (Rachman Assegaf, 2011:192).
Aliran
esensialisme merupakan aliran yang ingin kembali kepada kebudayaan-kebudayaan
lama warisan sejarah yang telah membuktikan kebaikan-kebaikannya bagi kehidupan
manusia. Aliran esensialisme didasari atas pandangan humanisme yang merupakan
reaksi terhadap hidup yang mengarah pada keduniawian, serba ilmiah, dan
materialistik. Selain itu aliran ini juga diwarnai oleh pandangan-pandangan
dari paham penganut aliran idealisme dan realisme.
Esensialisme
percaya bahwa pendidikan harus didasarkan kepada niai-nilai kebudayaan yang
telah ada sejak awal peradaban manusia. Esensia adalah kebudayaan yang mereka
wariskan kepada kita hingga sekarang, telah teruji oleh segala kondisi dan
sejarah. Esensia juga mampu mengemban hari kini masa depan dan umat manusia.
Praktek-praktek filsafat pendidikan esensialisme lebih kaya dibandingkan jika
ia hanya mengambil posisi yang sepihak dari salah satu aliran yang ia
sintesakan itu.
Pandangan
aliran esensialisme tentang ide-ide modern aliran ini lebih bersifat netral
atau lebih tepat dikatakan aliran yang juga mensintesakan ide-ide abad tengah
yang dogmatis religius dengan ide-ide renaissans yang sekuler.
Dalam rangka
mempertahankan pahamnya itu khususnya dari persaingan dengan paham
progresivisme, tokoh esensialisme mendirikan suatu organisasi yang bernama essentialist commite for the advancement of
education pada tahun 1930. Melalui organisasi inilah pandangan-pandangan
esensialisme dikembangkan dalam dunia pendidikan.
Tujuan umum
aliran esensialisme adalah membentuk pribadi bahagi di dunia dan di akhirat.
Isi pendidikannya mencakup ilmu pengetahuan, kesenian, dan segala hal yang
mampu menggerakkan kehendak manusia. Kurikilum sekolah bagi esensialisme
merupakan semacam miniatur dunia yang bisa dijadikan sebagai ukuran kenyataan,
kebenaran, kegunaan. Dengan demikian peranan sekolah sebagai penyelenggara
pendidikan menjadi berhasil dan berguna sesuai dengan prinsip-prinsip dan
kenyataan sosial (Abdul
khobir, 2011:54-55).
Terdapat
beberapa prinsip asasiah yang menjadi asumsi dalam aliran esensialisme, yaitu :
1)
Kegiatan belajar pada dasarnya
menuntut kerja keras dan latihan yang kadang membosankan.
2)
Insiatif pokok dalam pendidikan
tidak terletak pada murid tetapi pada guru.
3)
Inti proses pendidikan adalah
dikuasainya bahan yang sebelumnya sudah ditetapkan.
4)
Sekolah mesti mempertahankan metode
tradisional yang menekankan disiplin mental (Ismail
Tholib, 2008:110-114).
3.
Aliran
Progressivisme
Progressivisme
muncul di Amerika Serikat tahun 1870 yang di perkenalkan oleh Francis W.
Parker. Para reformis yang menanamkan dirinya kaum progresif itu menentang
sitem pendidikan tradisional yang sangat kaku, menuntut disiplin ketat, dan
menuntut subjek didik menjadi pasif. Gerakan pembaharuan yang sudah ada sejak
akhir abad XIX itu mendapatkan angin baru pada abad XX dengan munculnya
filsafat pragmatisme. Filsuf dan pendidik yang bernama Jhon Dewey berusaha menjalin
pendidikan progresif dengan filsafat pragmatisme.
Aliran
progressivisme berpendapat bahwa pendidikan merupakan suatu proses penggalian
pengalaman terus-menerus. Pendidik haruslah siap sedia untuk mengubah metode
dan kebijakan perencanaanya dalam mengikuti perkembanagan zaman yang berkaitan
erat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan perubahan lingkungan. Inti pendidikan
tidak terletak dalam usaha penyesuaian dengan masyarakat atau dunia luar
sekolah, dan juga tidak terletak dalam usaha untuk menyesuaikan dengan standar
kebaikan, kebenaran, dan keindahan yang abadi, melainkan dalam usaha untuk
terus menerus merekonstruksi (menyusun kembali) pengalaman hidup (Ismail Thoib, 2008:86-87).
Aliran
progressivisme adalah suatu aliran filsafat pendidikan yang sangat berpengaruh
dalam abad ke 20 ini. Pengaruh itu terasa diseluruh dunia, terlebih di Amerika
serikat. Usaha pembaharuan di dalam lapangan pendidikan pada umumnya terdorong
oleh aliran progressivisme ini. Biasanya aliran progressivisme ini dihubungkan
dengan pandangan hidup liberal –“The liberal road to culture”. Yang dimaksudkan
dengan ini ialah pandangan hidup yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
fleksibel (tidak kaku, tidak menolak perubahan, tidak terikat oleh suatu
doktrin tertentu), corious (ingin mengetahui, ingin menyelidiki), toleran dan
open-minded (mempunyai hati terbuka), Zaini Muchtarom, 2012:20-24).
Untuk
merealisasikan harapan tersebut, rekontruksionisme mendasarkan diri pada konsep
yang antara lain seperti yang dirumuskan oleh George F. Kneller bahwa
prinsip-prinsip mendasar progressivisme dapat dirincikan menjadi enam:
Pertama, pendidikan harus lebih “aktif” dan berkaitan
dengan minat anak. Progrssivisme menekankan perlunya
memusatkan pendidikan pada anak sebagaimana adanya. Anak sebagai suatu keutuhan
pribadi mempunyai dunianya sendiri yang mesti dihormati dan dijadikan pangkal
tolak untuk kegiatan pendidikan. Sekolah mesti berpusat pada anak sehingga
proses belajar dan bahan atau materi belajar tidak hanya ditentukan oleh guru
melainkan didasarkan pada minat dan kebutuhan anak sendiri.
Kedua, belajar melalui pemecahan masalah mesti
menggantikan cara belajar yang menekankan penerimaan bahan jadi. Progressivisme menolak pandangan tradisiaonal yang
menyatakan bahwa belajar secara hakiki terjadi melalui penerimaan pengetahuan
dan pengetahuan dimengerti sebagai barang abstrak yang dimasukkan oleh guru
yang dimasukkan kedalam benak anak. Bagi progressivisme pengetahuan merupakan
alat untuk mengolah pengalaman untuk menangani situasi yang terus menerus
dimunculkan oleh gerak perubahan hidup. Bermakna, maka kita mesti dapat berbuat
sesuatu dengan pengetahuan tersebut.
Ketiga, pendidikan mesti merupakan hidup sendiri dan
bukan hanya suatu persiapan untuk hidup. Semua hidup
yang dinalar merupakan suatu kegiatan belajar karena hal itu melibatkan
penafsiran dan penataan kembali pengalaman. Maka dari itu sekolah perlu di
jadikan tempat anak belajar untuk hidup secara kritis dan bernalar. Sekolah
mesti menempatkan anak didik dalam situasi belajar yang sesuai dengan umur dan
menunjuk pada hal-hal yang kiranya akan dihadapi dalam hidupnya sebagai orang
dewasa.
Keempat, peranan guru lebih sebagai pendamping dan
penasehat dari pada sebagai penentu pokok. Minat dan
kebutuhan anak didiklah yang mesti menjadi penentu pokok tentang apa yang
semestinya mereka pelajari. Anak-anak mesti dibimbing untuk merencanakan
kegiatan belajar mereka. Guru menyediakan fasilitas dengan memberikan
pengetahuan dan pengalamannya yang lebih luas. Untuk mereka gunakan, dan
apabila mengalami kemacetan guru perlu menolong.
Kelima, sekolah mesti mendorong adanya kerjasama
diantara murid-murid dan bukan persaingan. Manusia
pada dasarnya merupakan makhluk sosial dan mendapatkan kepuasannya yang
terbesar dari hubungan-hubungan mereka satu sama lain. Kaum progresif yakin
bahwa pertemanan lebih cocok untuk pendidikan ketimbang persaingan dan semangt
mengejar sukses pribadi. Hal ini karena pertemanan dapat mengembangkan segi
yang lebih tinggi sebagai manusia, sebagai makhluk yang berbudaya. Pada
faktanya peserta didik lebih senang bekerja secara kolektif dibandingkan
bekerja secara individual. Pendidikan sebagai penataan kembali kodrat
kemanusiaannya dalam lingkup sosial karena masing-masing orang akan dapat
tumbuh dan berkembang bersama yang lain.
Keenam, demokrasi memungkinkan dan mendorong adanya
peraturan bebas gagasan dan peraturan macam-macam pribadi yang merupakan syarat
penting untuk pertumbuhan. Bagi kaum progresif kerjasama dan
demokrasi saling mengendalikan. Secara ideal, demokrasi merupakan pengalaman
yang dijalani bersama, seperti dinyatakan oleh Dewey: “suatu demokrasi itu
lebih dari pada sekedar suatu bentuk pemerintahan. Demokrasi pertama-tama
merupakan suatu bentuk kehidupan bersama; suatu pengalaman komunikatif yang
digabungkan” (Ismail
Thoib, 2008:87-95).
Sifat-sifat
umum aliran progressivisme dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok: (a)
sifat-sifat negatif, dan (b) sifat-sifat positif. Sifat itu dikatakan negatif dalam arti bahwa, progressivisme menolak otoritarisme
dan absolutisme dalam segala bentuk seperti misalnya terdapat dalam agama,
politik, etika dan epistimologi. Positif
dalam arti bahwa progressivisme menaruh kepercayaan terhadap kekuatan
alamiah dari manusia, kekuatan-kekuatan yang diwarisi oleh manusia dari alam
sejak ia lahir-man’s natural powers. Terutama yang dimaksud ialah
kekuatan–kekuatan manusia untuk terus-menerus melawan dan mengawasi
kekuatan-kekuatan, takhayul-takhayul dan kegawatan-kegawatan yang timbul dari
lingkungan hidup yang selamanya mengancam. Istilah filsafat yang biasanya
dipakai untuk menggambarkan pandangan hidup yang demikian disebut pragmatisme. Dalam arti terbatas
pragmatisme adalah suatu teori pikir. Akan tetapi lazim juga istilah
pragmatisme yaitu meliputi sekelompok keyakinan-keyakinan filsafat mengenai
alam dan manusia. Maka tugas pendidikan menurut progressivisme ialah meneliti
sejelas-jelasnya kesanggupan-kesanggupan manusia itu dan menguji kesanggupan-kesanggupan
itu dalam pekerjaan praktis. Yang dimaksud disini ialah bahwa manusia hendaknya
memperkerjakan ide-ide atau pikiran-pikirannya. Manusia tidak hendaknya
berpikir melulu untuk kesenangan berpikir saja, manusia hendaknya berpikir
untuk berbuat. Progressivisme menolak pendapat bahwa manusia hanya dapat
menyerah saja kepada kekuatan-kekuatan dalam lingkungannya. Progressivisme
berpendapat, bahwa pendidikan adalah alat kebudayaan yang paling baik.
Bahwa dengan pendidikan sebagai alat, manusia dapat menjadi “the masters, not
the slaves. Of social as well as other kinds of natural change”.
Progresivisme
mempunyai konsep yang didasari oleh pengetahuan dan kepercayaan bahwa manusia
itu mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi dan mengatasi
masalah-masalah yang dapat menekan atau mengancam adanya manusia itu sendiri.
Pendidikan
yang bercorak otoriter ini dapat diperkirakan mempunyai kesulitan untuk
mencapai tujuan –tujuan (yang baik) karena kurang menghargai dan memberikan
tempat semestinya kepada kemampuan-kemampuan tersebut dalam proses pendidikan.
Padahal semuanya itu adalah ibarat motor penggerak manusia dalam usahanya untuk
mengalami kemajuan atau progres.
Oleh karena
kemajuan atau progres ini menjadi perhatian progresevisme, maka beberapa ilmu
pengetahuan yang mampu menumbuhkan kemajuan dipandang oleh progressivisme
merupakan bagian utama dari kebudayaan. Menurut progressivisme, ide-ide,
teori-teori, atau cita-cita itu tidaklah cukup hanya diakui sebagai hal-hal
yang ada, tetapi yang ada disini haruslah dicari artinya bagi suatu kemajuan
atau maksud bagi yang lain. Disamping itu manusia harus dapat memfungsikan
jiwanya untuk membina hidup yang mempunyai banyak persoalan dan silih berganti
ini.
Ciri utama
yang menjadi identitas progressivisme dalam mistion filsafat pendidikan tercermin dalam:
1)
Pendidikan dalam kebudayaan liberal.
2)
Menjadi pelopor pembaharuan ide-ide
lama menuju asas-asas baru menyongsong kebudayaan dan zaman baru.
3)
Peralihan menuju kebudayaan baru.
Progresif
menghendaki pendidikan yang membina dan berdasarkan minat belajar yang mencakup
seluruh pengalaman sosial anak dan orang dewasa sekaligus menaruh perhatian
kepada minat anak secara individual. Aliran ini lebih memusatkan perhatian pada
proses yang continue dari pada interaksi antar pribadi dengan masyarakat
dibandingkan dengan ketentuan-ketentuan normatif yang sesungguhnya adalah
produk interaksi itu sendiri (Abdul
Khobir, 2011:49-51).
Dalam abad
ke 19 dan ke 20 ini tokoh-tokoh progressivisme terutama terdapat di Amerika
Serikat. Thomas Paine dan Thomas
Jefferson memberikan sumbangan pada progressivisme karena kepercayaan
mereka akan demokrasi dan penolakan terhadap sikap yang dogmatis, terutama
dalam agama. Charles S. Pierce mengemukakan teori tentang
pikiran dan hal berpikir: pikiran itu hanya berguna atau berarti bagi manusia
apabila pikiran itu “bekerja”, yaitu memberikan pengalaman (hasil) baginya.
Fungsi berpikir tidak lain dari pada membiasakan manusia untuk berbuat. Perasaan
dan gerak jasmaniah (perbuatan) adalah manifestasi-manifestasi yang khas dari
aktivitas manusia dan kedua hal itu tak dapat dipisahkan dari kegiatan intilek
(berpikir). Jika dipisahkan, perasaan dan perbuatan menjadi abstrak dan dapat
menyesatkan manusia.
Perlu
diketahuai bahwa pragmatisme sebagai filsafat dan progressivisme sebagai
pendidikan erat sekali hubungannya dengan kepercayaan yang sangat luas dari
Jhon Dewey dalam lapangan pendidikan. Hal ini dengan jelas dapat ditelusuri
lewat bukunya, Democracy and
Education. Dalam bukunya inilah Dewey memperlihatkan keyakinan-keyakinan
dan wawasan-wawasannya tentang pendidikan, serta mempraktekannya di
sekolah-sekolah yang ia dirikan. Menurut Dewey tujuan umum pendidikan ialah
warga masyarakat yang demokratis. Isi pendidikannya lebih mengutamakan
bidang-bidang studi seperti, IPA, sejarah, keterampilan, serta hal-hal yang
berguna atau langsung dirasakan oleh masyarakat.
Metode
scientific lebih dipentingkan, dan bukan metode memorisasi seperti pada aliran
esensialisme. Praktek kerja di laboratorium, di bengkel, di kebun (lapangan)
merupakan kegiatan yang dianjurkan dalam rangka terlaksananya “learning by
doing”. Progressivisme tidak menghendaki adanya mata pelajaran yang diberikan
secara terpisah, melainkan harus diusahakan terintegrasi dalam unit. Karena
perubahan yang selalu terjadi maka diperlukan fleksibilitas dalam
pelaksanaannya, dalam arti tidak kaku tidak menghindar dari perubahan, tidak
terikat oleh doktrin tertentu bersifat ingin tahu, toleran, dan berpandangan
luas serta terbuka (Zaini
Muchtarom, 2012:21-24).
B.
Persamaan dan perbedaan aliran
filsafat pendidikan Barat dengan aliran filsafat pendidikan Indonesia.
1.
Filsafat Pendidikan Indonesia
Pancasila sebagai Landasan Filsafat Sistem
Pendidikan Nasional
Bangsa Indonesia memiliki filsafat umum atau filsafat Negara ialah pancasila
sebagai falsafah Negara, Pancasila patut menjadi jiwa bangsa Indonesia, menjadi
semangat dalam berkarya pada segala
bidang. Pasal 2 UU-RI No. 2 Tahun 1989 menetapkan bahwa pendidikan Nasional
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Rincian selanjutnya tentang hal itu tercantum
dalam penjelasan UU-RI No. 2 Tahun 1989, yang menegaskan bahwa pembangunan
nasioanal termasuk
dibidang pendidikan adalah pengamalan pancasila, dan untuk itu pendidikan
nasional mengusahakan antara lain: “ Pembentukan manusia Pancasila sebagai manusia
pembangunan yang tinggi kualitasnya dan mampu mandiri”. Sedangkan ketetapan
MPR-RI No.II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila
menegaskan pula bahwa pancasila itu adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia,
kepribadian bangsa Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia, dan dasar
Negara.
2.
Filsafat Pendidikan Barat
a.
Futurisme
Futurisme berfokus pada reformasi
sosial dan politik. Futuris menyerukan pendidik untuk menghasilkan gambar alternatif berturut- turut masa depan dengan: menciptakan awereness dari ketidakadilan, kontradiksi, dan masalah dalam tatanan dunia saat ini dan berfikir cara positif untuk menangani mereka; menggunakan mata pelajaran kurikuler seperti ekonomi, psikologi, sosiologi dan ilmu politik untuk menciptakan kesadaran.
b.
Rekonstruksionisme
Aplikasi Reconstructionism
pendidikan adalah dua kali lipat:
(1) Identifikasi area masalah utama yang memicu
kontroversi, konflik dan inkonsistensi dalam bidang studi seperti ekonomi, sosiologi, ilmu politik, psikologi, dan antropologi.
(2) Penggunaan metodologi, seperti memainkan peran, simulasi dan model yurisprudensi untuk menciptakan kesadaran akan masalah dan keterbukaan terhadap solusi.
c.
Humanisme
Humanisme telah membuat tiga
kontribusi terhadap pendidikan, yaitu:
(1) Kelas terbuka
(2) Sekolah gratis
(3) Sekolah tanpa kegagalan
d.
Progresivisme
(1) Proses pendidikan menemukan asal-usul dan tujuan pada anak.
(2) Murid aktif daripada pasif.
(3) Peran guru adalah bahwa dari penasihat, panduan, sesama traveler, bukan seorang direktur otoriter dan kelas.
(4) Sekolah adalah mikrokosmos dari masyarakat yang lebih luas. Belajar harus diintegrasikan.
(5) Kegiatan Kelas harus fokus pada pemecahan masalah, bukan pada metode buatan dari mata pelajaran.
(6) Suasana sosial sekolah harus kooperatif dan demokratis
e.
Perenialisme
Perrenialits telah diberikan kepada pendidikan enam prinsip dasar di mana mereka beroperasi.
(1) Manusia adalah hewan rasional sehingga individu
mengembangkan pikiran mereka, mereka dapat menggunakan alasan untuk mengontrol selera, nafsu, dan tindakan.
(2) Pengetahuan adalah univerally konsisten, oleh karena itu ada materi dasar tertentu yang harus diajarkan kepada semua orang.
(3) Subyek bukan anak, harus berdiri di tengah-tengah usaha pendidikan.
(4) Karya-karya besar dari masa lalu adalah repositori pengetahuan dan kebijaksanaan yang telah teruji oleh waktu dan relevan di zaman kita.
(5) Sifat manusia adalah konsisten, sehingga pendidikan harus sama untuk semua orang.
(6) Pengalaman pendidikan merupakan persiapan untuk hidup, bukan situasi kehidupan nyata.
f.
Behaviorisme
Para penganut paham behaviorisme menyumbangkan empat prinsip dasar pendidikan:
(1) Manusia adalah hewan tingkat tinggi yang belajar sama seperti hewan-hewan yang lain. Para ilmuwan dapat memperhalus teknik mengajar sepanjang eksperimen dengan hewan-hewan.
(2) Pendidikan adalah sebuah proses keahlian teknik lingkungan. Orang diprogram untuk melakukan pada beberapa cara tertentu dengan lingkungan mereka. Lingkungan dapat saja dimodifikasi dengan memanipulasi penguatan lingkungan.
(3) Peran guru adalah untuk menciptakan lingkungan pembelajaran yang efektif yang akan menyediakan penguatan positif.
(4) Efisiensi, ekonomi, ketelitian dan objektivitas adalah nilai central yang perlu diperhatikan.
g.
Esensialisme
Penganut Esensialisme menyumbangkan
tiga prinsip besar untuk pendidikan:
(1) Tugas sekolah adalah mengajar pengetahuan dasar. Mata pelajaran dasar mesti dipelajari pada sekolah dasar dan sekolah menengah untuk mengeliminir “kebutaan” pengetahuan pada tingkat perguruan tinggi.
(2) Belajar adalah kerja keras dan menuntut kedisiplinan. Menghafal, latihan dan pemecahan masalah merupakan upaya membantu perkembangan belajar.
(3) Guru merupakan fokus dari aktivitas kelas. Dia yang menentukan apa yang harusnya dipelajari siswa dan bertanggung jawab untuk menyajikan mata pelajaran dalam sebuah rangkaian logis dan memupuk kedisiplinan siswa untuk menciptakan suasana belajar yang kondusif.
h.
Eksistensialisme
Penganut Eksistensialisme
memfokuskan diri untuk menolong anak merealisasikan dirinya secara lebih utuh berdasarkan proposisi berikut ini:
(1) Saya adalah agen terpilih – tidak dapat menghindar untuk memilih jalan saya sepanjang hidup.
(2) Saya adalah agen yang bebas – bebas untuk menentukan tujuan-tujuan hidup sendiri.
(3) Saya adalah seorang agen yang bertanggung jawab –
bertanggung jawab secara personal pada pilihan bebas saya sebagaimana yang mereka tampakkan pada bagaimana seharusnya saya menjalani hidup.
Dari pembahasan diatas, penulis
menganalisis dari aliran-aliran filsafat pendidikan Barat dan aliran-aliran filsafat
pendidikan Indonesia yang mempunyai beberapa persamaan dan perbedaan antara
keduanya untuk bisa mengambil kekurangan dan mencari faktor penyebabnya dan
faktor penyelesaiannya, dengan tujuan dapat tercapainya
tujuan pendidikan Indonesia yang mampu menjadi cikal bakal
untuk meraih kesuksesan dunia maupun akhirat dalam kehidupan modern yang dewasa
ini perkembanganya semakin terkontaminasi dengan
pengaruh-pengaruh dunia dari Barat khususnya yang terjadi pada masalah
pendidikan.
Dapat diutarakan dengan jelas bahwa
sistem filsafat menurut Plato dan tokoh-tokoh yang lain dapat dijadikan sebagai
dasar terbentuknya suatu filsafat pendidikan. Disisi lain, cabang-cabang
sistem filsafat mendasari berbagai pemikiran mengenai pendidikan.
Pendidikan dalam konteks upaya merekonstruksi suatu peradaban merupakan
salah satu kebutuhan asasi yang dibutuhkan oleh setiap manusia
dan kewajiban yang harus diemban oleh Negara agar dapat membentuk
masyarakat yang memiliki pemahaman dan kemampuan untuk menjalankan fungsi-fungsi kehidupan selaras dengan fitrahnya serta mampu
mengembangkan kehidupannya menjadi lebih baik dari setiap masa ke
masa berikutnya.
Menganalisis dari
pembahasan-pembahasn diatas dalam perspektif pendidikan Indonesia, yang menganalisis dari melihat persamaan dan perbedaan antara aliran filsafat pendidikan Barat dan
aliran filsafat pendidikan Indonesia. Bahwasanya penulis mempunyai tujuan untuk menemukan hasil dari studi
komperatif yang dilakukan pada pembahasan diatas, yaitu penulis menemukan
sebuah hasil yang nantinya dapat dilakukan oleh para pendidik untuk mendidik para
peserta didik. Hasil analisis tersebut adalah pentingnya pendidikan
pada era globalisasi yang semakin merajalela seperti dizaman modern ini yang kaya akan
perkembangan teknologi yang berkembang pesat dan cepat.
Atas dasar problematika tersebut
diatas, maka pemikiran dari aliran-aliran filsafat pendidikan Barat dan
aliran-aliran filsafat pendidikan Indonesia yang perlu dikembangkan untuk
menuju kepada tujuan pendidikan Indonesia, yang telah dipengaruhi oleh
pendidikan Barat adalah aliran filsafat pendidikan yaitu: rekonstruksi sosial.
Rekonstruksi sosial lebih menonjolkan sikap proaktif dan
antisipatifnya, sehingga tugas pendidikan adalah membantu agar manusia menjadi cakap
dan selanjutnya mampu ikut bertanggungjawab terhadap pengembangan
masyarakatnya dalam pendidikan.
Untuk dapat melaksanakan tugas
tersebut maka rekonstruksi sosial ini memiliki fungsi pendidikan Indonesia yaitu: sebagai upanya untuk menumbuhkan kreativitas
peserta didik, budaya manusia, memperkaya isi nilai-nilai serta menyiapkan tenaga kerja produktif. Dalam rekonstruksi
sosial ini mengandung dua makna tenaga kerja produktif, yaitu:
(1) kerja produktif tidak hanya dalam arti ekonomik saja, melainkan juga
dalam arti sosial, kurtural danlain-lain. Dan (2) mengantisipasi masa
depan, sehingga pendidikan memberi corak struktur kerja masa depan.
Sebagai penutup, penulis dapat
memberi contoh bahwasanya sebenarnya usaha pembaharuan yang merupakan tawaran
yang relatif bagus dalam konteks inilah pengkajian terhadap
pemikiran para tokoh pendidikan, yang relevan untuk terus dilakukan. Kajian
terhadap pemikiran tersebut merupakan wacana yang mampu
memperkaya langkah untuk meyempurnakan pendidikan Indonesia di abad 21 dan di masa depan.
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam menjalankan pendidikan di Indonesia, semua orang dan lembaga pendidikan punya tanggung jawab masing-masing sesuai
dengan tugas dan profesinya. Namun semua itu yang pertama dan utama
ialah dimulai dari tanggung jawab keluarga. Kemudian baru beralih kepada
lembaga pendidikan lainnya.
Filsafat adalah hasil pemikiran
ahli-ahli filsafat atau ahli filosof sepanjang zaman diseluruh dunia. Sejarah
pemikiaran filsafat yang amat penting bila dibandingkan dengan sejarah ilmu
pengetahuan, telah memperkaya khazanah (perbendaharaan) ilmu filsafat.
Sebagai ilmu tersendiri filsafat, tidak saja telah menarik minat
dan perhatian para pemikir, tetapi bahkan filsafat telah banyak sekali
perkembangannya keseluruh budaya manusia.
Filsafat telah mempengaruhi
kepribadian seseorang, dalam arti filsafat mampu mempengaruhi sikap hidup, cara
berfikir, kepercayaan atau ideologinya. Filsafat telah mewarisi subjek atau
pribadi masing-masing individu yang demikian kuatnya sehingga setiap orang
menjadi penganut suatu paham filsafat baik langsung atau tidak langsung,
sadar ataupun tidak sadar.
Masalah pendidikan, adalah merupakan
masalah hidup dan kehidupan manusia. Proses pendidikan berada dan
berkembang bersama perkembangan hidup dan kehidupan umat manusia, bahkan
keduanya pada hakikatnya adalah proses yang satu. Melihat banyaknya
masalah di dunia pendidikan, baik itu masalah sederhana menyangkut
praktek dan pelaksanaan sehari-hari, maupun yang menyangkut
masalah bersifat mendasar dan mendalam, sehingga memerlukan bantuan
ilmu-ilmu lain dalam memecahkannya. Bahkan pendidikan juga menghadapi
persoalan-persoalan yang tidak mungkin dijawab dengan menggunakan analisis ilmiah semata-mata, tetapi memerlukan analisis dan
pemikiran yang mendalam yaitu analisis filsafat. Misalnya untuk
mengetahui tujuan pendidikan. Apakah tujuan pendidikan tersebut untuk
kepentingan individu atau kepentingan kelompok (masyarakat).
Pendidikan berusaha membantu hakikat
manusia untuk meraih kedewasaannya, yakni menjadi manusia yang memiliki
integritas emosi, intelek, dan perbuatan. Semua itu dalam rangka
melaksanakan kebebasannya untuk memilih secara bertanggung jawab
dan etis. Dasar inilah yang dalam gagasan otonomi pedagogies perlu
dikembangkan oleh sekolah dan guru. Lingkungan sekolah diciptakan
sedemikian rupa agar kondusif dalam merangsang potensi siswa dan membina
pertumbuhannya secara optimal. Untuk itu, disekolah disediakan media
pengembangan inteligensi, imajinasi kreatif, dan karakter/watak.
Pengembangan intelegensi bertujuan memahami dan memecahkan masalah
kehidupan atau adaptasi dengan situasi. Pengembangan imajinasi
kreatif bertujuan melatih disiplin, inisiatif dan kreatif dalam mencari
opsi yang paling baik adapun pengembangan watak atau karakter, bertujuan
mengembangkan kepribadian.
Perbedaan antara aliran filsafat
pendidikan Barat dan aliran filsafat pendidikan Indonesia adalah: Aliran-aliran filsafat
pendidikan Barat berdasarkan pada rasional murni, sedangkan model pengembangan pemikiran (filosofis) pendidikan Indonesia berdasarkan pada Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI, sedangkan aliran-aliran filsafat pendidikan
Barat kebanyakan hanya mengembangkan kepentingan di dunia saja.
B.
Saran
Dalam menerima suatu konsep
pendidikan kita jangan refleks dalam menyadurnya atau dengan kata lain,
jangan menerima mentah-mentah sebelum kita kaji. Sebaiknya kita menyaring
(memfilter) terlebih dahulu sebelum kita kaji, kemudian kita sesuaikan dengan keadaan yang ada, apabila sesuai kita ikuti dan apabila tidak
sesuai, maka kita tinggalkan dan menganggapnya sebagai wacana keilmuan
saja. Karena biasanya teori yang diusung oleh negara-negara Barat
kebanyakan dihasilkan dari segirasional saja. Segala sesuatu yang
tidak sesuai
dengan rasio
dianggap tidak ilmiah. Sedangkan Indonesia tidak semua hal dapat dirasiokan.
DAFTAR PUSTAKA
Abd Rachman Assegaf. 2011. Filsafat Pendidikan : Paradigma Baru Pendidikan. Jakarta : Rajawali
Pers.
Abdul Khobir. 2011. Filsafat Pendidikan (Landasan Teoritis dan
Praktis. Jogjakarta :
Matagraf.
Abdul Munir Mulkhan. 2003. Paradigma Intelektual. Yogyakarta : Sipress.
Ahmad D. Marimba. 2009. Pengantar Filsafat Pendidikan. Cet. VIII. Bandung : Al-Ma’arif.
Assegaf,
Rachman. 2011. Filsafat Pendidikan Islam. Paradigma Baru Pendidikan Hadhari.
Jakarta: Rajawali Pers.
Dinas P & K. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
Emzir. 2008. Metode Penelitian Pendidikan Kuantitatif dan Kualitatif. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Hasan Langgulung. 2008. Pendidikan Indonesia Menghadapi Abad Ke 21. Jakarta : Pustaka Al-Husna.
Hujair Syaukani. 2007. Pendidikan di Indonesia, Suatu
Kajian Upaya Membangun Masa Depan, Pendidikan
dalam Peradaban Industrian, Penyunting. Yogyakarta : Aditya Media.
Ida Bagoes Mantra. 2004. Filsafat Penelitian dan Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Ihsan, Fuad. 2008. Dasar-Dasar Kependidikan. Jakarta : Rineka Cipta.
Imam Barnadib. 2006. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta : Andi Offset.
Imron Rossidy dan Bustanul Amari. 2007. Pendidikan yang Memanusiakan Manusia dengan Paradigma Pembebasan. Malang : Pustaka Minna.
Ismail. Tholib. 2008. Wacana Baru Pendidikan. Yogyakarta : Genta
Press.
Ismail Thoib. 2008. Wacana Baru pendidikan Meretas Filsafat
Pendidikan. Yogyakarta : Genta Press.
Iqbal Hasan. 2002. Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Bogor : Ghalia Indonesia.
Jalaluddin. 2001. Teologi Pendidikan. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Khobir,
Abdul. 2011. Filsafat Pendidikan Islam (Landasan Teoritis dan Praktis). Jogjakarta:
Matagraf.
Lasiyo dan Yuono. 2005. Pengantar Ilmu Filsafat. Yogyakarta : Liberty.
Lexy J Moleong. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya.
M. Amin Abdullah. 2005. Falsafah Kalam di Era Postmodernisme. Yogyakarta : Cet I, Pustaka Pelajar.
Mohammad Nor Syam. 2008. Fisafat Pendidikan dan Dasar Filsafat
Pendidikan Pancasila. Surabaya : Usaha Nasional.
Muis Sad Iman. 2004. Pendidikan Partisipatif. Yogyakarta : Safiria Insania Press.
Mudyahardjo, Redja.
2008. Pengantar Pendidikan. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Ngalim Purwanto. 2007. Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Nor Syam,
Mohammad. 2008.
fisafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila. Surabaya:
Usaha Nasional.
Oong Komar. 2006. Filsafat Pendidikan Nonformal. Bandung : Pustaka Setia.
Pidarta, Made. 2009. Landasan Kependidikan. Jakarta :
Rineka Cipta.
Purwanto, Ngalim. 2007. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung
: PT Remaja Rosdakarya.
Sidi Gazalba. 2007. Sistematika Filsafat, Jilid 1 Cet, II. Jakarta : Bulan Bintang.
Strauss dan Juliet Corbin. 2003. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Sugiyono. 2008. Metode Penelelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R&D. Bandung : Alfabeta.
Sutrisno Hadi. 2007. Metodologi Research. Yogyakarta : Andi Offset.
Tadjab. 2004. Perbandingan Pendidikan. Surabaya : Karya Abditama.
Tholib, Ismail. 2008. Wacana Baru Pendidikan. Yogyakarta:
Genta Press
Umar Muhammad Al Toumy Al Syaibani. 2007. Filsafat Pendidikan. Surabaya : Bulan Bintang.
Yusuf al-Qardhawi. 2010. Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan Al-Banna, Terjemah Prof. H. Bustami A Gani dan Zainal Abidin Ahmad. Jakarta: Bulan Bintang.
Zaini Muchtarom. 2012. Filsafat Pendidikan. Jakarta : Bumi
Akasara.
Zuhairini. 2012. Filsafat
Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara.
No comments:
Post a Comment